19 Desember, 2019

KISAH SYEKH BURHANUDDIN ULAKAN BERGURU KEPADA SYEKH ABDURRAUF AS-SINGKILI:


KISAH SYEKH BURHANUDDIN ULAKAN BERGURU KEPADA SYEKH ABDURRAUF AS-SINGKILI:

PESAN TERAKHIR SANG TUAN GURU Kepada Murid Kesayangan.

(Pembawa Islam ke MinangKabau)
Secara garis besar agama Islam telah masuk ke Pulau Perca (Asia) dan disebarkan di aceh 300 tahun sebelum sipono lahir namun agama baru ini tidak bisa menyentuh sendi kehidupan daerah darek yang masih memeluk agama Hindu dan Budha yang kuat, namun ulama dari timur bisa menembus pedalaman Pakan Tuo batang bangkaweh yang merupakan salah satu jalur perdagangan kala itu.

Mula mengenal Agama Islam

Untuk membekali keterampilan hidup anak seperti biasa setiap hari pekan Sipono selalu dibawa ayahnya pergi ke pasar Tuo Batang Bangkaweh disini dia dipertemukan pada seorang gujarat yang disebut dengan “Illapai” untuk belajar berniaga.

Kiranya Illapai ini memasukkan fahammnya pada Sipono dan sipono tertarik untuk mendalaminya dan sejak saat itu bermulalah perjalanan hidup si Pono.

Suatu ketika Illapai menceritakan bahwa ada guru yang lebih pandai darinya di negeri rantau pesisir Minangkabau yaitu seorang ulama dari mekah yang terkenal dengan sebutan Tuanku Madinah. Sedang mengajarkan agama Islam.

Cerita ini menarik minat sipono maka diutarakanlah niat tersebut pada Ayahnya untuk belajar agama Islam di Tapakis pada Tuanku Madinah.

Melihat semangat anak kesayangannya dan hiba membayangkan anaknya yang selalu di perolok-olok kan temannya karena pincang maka niat tersebut dikabulkan oleh ayahnya untuk pindah sekaligus membuka lapangan usaha di daerah baru.

Berangkatlah keluarga ini 6 rombongan menyelusuri hutan mengiliri batang air melewati nagari malalo (Singkarak) dan turun gunung sampai Nagari Asam Pulau dan terus mengiliri anak sungai batang anai sampai kenagari Sintuak Lubuk Aluang.

101_0042Disintuak merupakan nagari yang pertama mereka tempati dan menetap di perantauan dan karena ditempat ini kehadirannya diterima maka mulailah mereka memulai kehidupan dengan menggembala kerbau.

Karena setiap hari kerjanya mengembala kerbau, diusianya yang kesebelas tahun maka sipono tidak banyak bergaul dengan orang lain sehingga dia bagaikan mengasingkan diri disamping setalian untuk menghindari cemoohan orang akan kondisi Kakinya yang pincang.

Padang gembalaannya semakin hari semakin jauh dan tidak terbatas di Sintuk saja melainkan melebar sampai ke Tapakis yaitu daerah antara sintuk dan Ulakan kini.

Dipengembalaannya di Tapakis sipono mendapat teman bermain orang ulakan yang berasal dari Tanjung Medan yang bernama Idris yang kelak diberi gelar Khatib Majolelo dan menjadi teman setianya ketika kembali dari Aceh dan menjadi tulang punggung dalam penyiaran Islam di Ulakan.

Dari si Idris inilah si pono banyak mendapat informasi tentang keberadaan Yah Yudi Syeikh Abdul Arif yang digelari Tuangku Madinah karena berasal dari Madinah Tanah Arab dan pada Syeikh ini Sipono belajar agama Islam.

Karena kecerdasannya dan kemauannya yang kuat dalam mempelajari agama maka dengan cepat si pono berhasil menguasai semua pelajaran yang diberikan Tuanku Madinah. Dan pada suatu jumat gurunya menyuruh sipono untuk menjadi Imam dan memimpin guru serta teman teman seperguruannya shalat berjamaah, dia berhasil melaksanakan tugas tersebut tanpa cela sehingga hati syeikh Madinah senang dan mengajaknya berbicara serius dengan mengatakan bahwa ilmu yang dimilikinya belum lengkap untuk itu sipono hendaknya pergi berguru ke Aceh menemui Syeikh Abdlurrauf di singkil.

Sekaitan dengan berkembangnya ajaran Islam di Ulakan masyarakat mulai tidak menyenangi Sipono

 iyang imbasnya juga terhadap keluarga Pampak seseluruhan untuk itu inisiatif sipono pergi ke Aceh disetujui ayahnya agar bisa menghindari kemarahan masyarakat yang mulai main kasar bahkan ingin membunuh si pono karena ajaran islam tersebut menghalangi adat kebiasaan mereka dalam berjudi dan bersabung Ayam.

Bagi orang tua kapergian sipono ke Aceh sama saja dengan kehilangan anak untuk selamanya karena aceh itu jauh dan medannya sangat berat dan berbahaya sehingga kepergian sipono bagaikan kepergian pamit untuk mati yang tidak kembali lagi.

Ranji Menghubungkan Syeikh Burhanuddin dengan Nabi Muhammad SAW.

Perjalanan ini dilepas oleh orang tua dan sahabat karibnya Idris dengan perasaan galau dan kehilangan.

Mendapati situasi seperti ini sipono berpesan jangan bersedih bahwa dia akan kembali terutama pada sahabatnya si  Idris yang berjanji akan menanti kedatangan si pono sahabatnya.

Perjalanan ke Aceh.

(1) pantai Aceh SingkilDengan bekal keberanian dan keyakinan yang kuat untuk menambah ilmu Agama ke Syeikh Abdurrauf di Aceh maka Hutan Rimba belantara  bukit barisan dia jelajahi tanpa mengenal lelah siang berteman matahari malam berselimut embun dengan bilangan hari minggu dan berganti bulan akhirnya Pakiah Pono bertemu dengan empat orang  yang juga sehaluan jalan.

Keempat orang tersebut berhenti ditepi jalan menunggu Pakiah Pono melewatinya, melihat perawakan dari ke empat orang tersebut hati Pakiah Pono sama sekali tidak ciut meski dalam hatinya bertanya tanya mengapa mereka berhenti padalah dia sudah bersengaja berjalan lambat-lambat agar tetap berada dibelakang.

Ketika sudah dekat dengan sopan Pakiah Pono menyapa mereka sambil menghatur sambah tangan di depan dada yang dibalas dengan sopan pula oleh keempat orang tersebut dan saling bertanya darimana berasal dan kemana tujuan.

Setelah berkenalan dan mengungkap nama masa kecil serta gelar yang disandang kemudian berbincang-bincang tentang arah tujuan yang kiranya sama-sama hendak menuntut ilmu pada Syeikh Abdurrauf di Singkil Aceh.

Karena kepintaran berdiplomasi si Pakiah Pono maka atas kesepakatan mereka berlima ditunjuklah Tuanku Pono menjadi pimpinan Rombongan hingga sampai di Aceh Singkil.

Adapun teman berempat yang bertemu Pakiah Pono adalah Datuak maruhun Panjang dari Padang gantiang Batu Sangka, Sitarapang dari Kubuang Tigobaleh Solok, M. Nasir dari Koto Tangah Padang (Koto Panjang), Buyuang Mudo dari Bayang Salido Banda Sapuluah.

Syeikh Abdurrauf

(1) makam Syeikh Abdurrauf as Singkili

Gerbang Makam Syeik AbdurraAbdurruf

Syeikh Abdurrauf merupakan seorang Mufti pada kerajaan Aceh yang sama seperguruan dengan Syeik Abdul Arif syeikh tuangku Madinah yang belajar dengan Syeikh Abdul Ahmad Khusyasi di Madinah.

Syeikh Abdurrauf adalah guru yang ahli dalam ilmu Fikih, ilmu Tashauf, ilmu Nahu syaraf, Tafsir, mantiq, ilmu Maani, Badi,Bayan,Tauhid dan Ushul.

Adapun ranji silsilah keilmuan Syeikh Abdurrauf adalah Syeikh Abdul Ahmad Khusyasi, Syeikh Muhammad Syanawi, Syeikh Sibatullah, Syeikh Muhammad Alwi, Syeikh Muhammad Lawsi, Syeikh Hudhuri, Syeikh Hidayatulah, Syeikh Syathari, Syeikh Abdul Syathari, Syeikh Muhammad Arief, Syeikh Muhammad Asyik, Syeikh Khadi Khali, Syeikh Ali Safi’i, Syeikh  Asnawi, Syeikh Asyik Asaki, Syeikh Muhammad Maghribi, Syeikh Abu Yazid Bustami, SyeikhJa’far Sidik, Syeikh H. Muhammad Bakir, Syeikh Zainul Abidin, Syeikh Saidina Husein, Syeikh Saidina Ali, Nabi Muhamad Rasulullah SAW.

Dengan ranji inilah Pakiah pono ( Syeikh Burhanuddin) kelak di sandingkan.

Pakiah Pono jadi Murid Syeikh Abdurrauf as Singkili (Syeikh Kuala)

Sejarah singkat Syeik Abdurrauf

images_026Syeikh Abdurrauf dikenal juga dengan sebutan Syeikh Kuala, beliau dilahirkan di Singkil pada tahun 1615 Masehi atau 1024 Hijriyah. Syekh Abdurrauf merupakan keturunan Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke 13. Nama Singkil kemudian dinisbatkan pada daerah kelahirannya.

Menurut sejarah ayah Singkil adalah kakak laki-laki dari Hamzah Al-Fansuri, namun tidak cukup bukti yang meyakinkan bahwa ia adalah keponakan Al-Fansuri.

images_187Adalagi Nama yang disebut sebagai ayahnya dimana dia merupakan seorang ulama yang juga filsuf yang terkenal dengan pantheismenya yaitu Syeikh ‘Ali

Menurut cerita Dia adalah seorang keturunan Arab yang telah mengawini wanita setempat dari Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua di Sumatera Barat. Keluarga itu lantas menetap di sana.

Singkil didapatkan pendidikan pertama di tempat kelahirannya, Singkil, terutama dari ayahnya yang merupakan seorang alim. Ayahnya juga mempunyai pesantren. Singkil pun menimba ilmu di Fansur (Barus), karena ketika itu negeri ini menjadi salah satu pusat Islam penting di nusantara serta merupakan titik hubung antara orang Melayu dan kaum Muslim dari Asia Barat dan Asia Selatan.

Beberapa tahun kemudian, Singkil berangkat ke Banda Aceh, ibukota kesultanan Aceh dan belajar kepada Syams al-Din al-Samatrani, seorang ulama pengusung Wujudiyyah.

Sejarah perjalanan karier Singkil diawali saat dia menginjakkan kaki di jazirah Arab pada 1052 H/1642 M.

Sekitar 19 guru yang ada dalam catatan sejarah pernah mengajarinya dengan berbagai disiplin ilmu Islam di samping sebanyak 27 ulama terkemuka lainnya. Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Makkah serta Madinah.

Eksperimen pencarian jatidiri dan keislamannya dimulai di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadir al Mawrir kemudian berakhir dengan Syeikh Abdul Khusyasi di Madinah yang kini menjadi ranji aliran ajaran Syeikh Burhanuddin.

Sepanjang hidupnya, tercatat Singkel sudah menggarap sekitar 21 karya tulis yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqih dan selebihnya kitab ilmu tasawuf. Bahkan tercatat kitab tafsirnya berjudul Turjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.

Dia juga menulis sebuah kitab fiqih berjudul Mi’rat at-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syari’yyah li al Malik al-Wahhab (Cermin bagi Penuntut Ilmu Fiqih pada Memudahkan Mengenal Hukum Syara’ Allah) yang ditulis atas perintah Sultanah.

Sementara di bidang tasawuf, karyanya yakni Umdat al-Muhtajin (Tiang Orang-Orang yang Memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (Pencukup Para Pengemban Hajat), Daqaiq al-Huruf (Detail-Detail Huruf) serta Bayan Tajalli (Keterangan Tentang Tajali).

Namun, di antara sekian banyak karyanya, terdapat salah satu yang dianggap penting bagi kemajuan Islam di nusantara yaitu kitab tafsir berjudul Tarjuman al-Mustafid. Ditulis ketika Singkel masih berada di Aceh, kitab ini telah beredar luas di kawasan Melayu-Indonesia bahkan hingga ke luar negeri.

oleh banyak kalangan, tafsir ini telah banyak memberikan petunjuk sejarah keilmuan Islam di Melayu. Di samping pula kitab tersebut berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir al-quran dan memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam.

Pada bagian lain, pendapat Singkel terhadap paham wahdadul wujud dipaparkannya dalam karya Bayyan Tajali. Karya ini juga merupakan usahanya untuk merumuskan keyakinan pada ajaran Islam.

Kalimat utama dari Syeikh Abdurrauf adalah betapapun yakin seorang hamba kepada Allah, namun khalik dan mahluk tetap memiliki arti tersendiri.

Sepulang dari belajar dia meneruskan pesantren ayahnya di singkil dan bekerjasama dengan Kesultan Aceh dengan menjadi mufti kerajaan.

Singkil Selayang pandang

(5) peta lokasi Aceh singkilSingkil merupakan sebuah daerah di Aceh yang atas UURI Nomor 14 tahun 1999 tepatnya tangal 20 April 1999 Singkil menjadi sebuah Kabupaten akibat pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan dengan wilayah seluas 2.187 km2 terdiri atas 11 kecamatan dan 127 kelurahan, berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

Kabupaten Aceh Singkil sendiri terdiri dari dua wilayah antara daratan dan Kepulauan sementara Singkil sendiri merupakan Ibukota Kabupaten yang terletak di jalur penghubung Banda Aceh, Medan dan Sibolga.

Singkil tidak hanya merupakan nama Salah satu Kabupaten di NAD apalagi hanya nama Kecamatan di Kabupaten Aceh Singkil, tapi singkil merupakan nama sebuah suku bangsa yang memiliki budaya dan sistem kekerabatan serta pranata sosial lainnya yang sudah lengkap, mendiami daerah geografis yang saat ini dikenal Kab. Aceh Singkil dan Kota Subulussalam,

(2) Rumah adat budaya AcehMasyarakat Singkil hidup secara berkelompok dan membentuk beberapa desa di Kabupaten Aceh Tenggara (Tanoh Alas). Singkil sendiri memiliki 15 Desa dan 9 Kelurahan.

Bahasa Suku Singkil sendiri berkerabatan dengan Bahasa suku Batak Pakpak di Sumatera Utara Suku bangsa Pakpak menurut cerita berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di India yang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.

Namun adat dan budayanya jauh berbeda karena suku singkil sendiri duluan menganut agama Islam sementara Suku Pakpak sendiri dari beragama Hindu kemudian oleh misionaris beralih ke agama kristen.

Selain itu suku Singkil lebih banyak bercampur dengan etnis-etnis tetangganya seperti suku Minang dan suku Aceh sendiri.

Pakiah Pono tiba di Singkil

images_182Pakiah Pono Datuak maruhun Panjang dari Padang gantiang Batu Sangka, Sitarapang dari Kubuang Tigobaleh Solok, M. Nasir dari Koto Tangah Padang (Koto Panjang), Buyuang Mudo dari Bayang Salido Banda Sapuluah akhirnya tiba di Singkil, mereka langsung menemui Syeikh Abdurrauf di kediamanya sekaligus mengutarakan maksud kedatangan mereka berlima.

Awal mula yang menemui Syeikh Abdurrauf adalah sahabat Pakiah pono yang berempat namun mereka mengatakan kedatangan mereka berjumlah lima orang maka menyusul muncul Pakiah pono yang kakinya cacat kecil sebelah akibat peristiwa masa kecil.

Melihat kedatangan Pakiah pono dengan sembah sujud berbudi Syeikh Abdurrauf teringat akan pituah gurunya bahwa nanti akan ada calon muridnya datang dari arah selatan yang nantinya akan menjadi penyuluh agama mewarisi ajarannya untuk dikembangkan dari pesisir Aceh ke Selatan dimana yang satunya cacat namun pintar dan berbudi pekerti yang tinggi.

Maka tanpa ragu Sang Mufti langsung menerima kelima orang ini menjadi murid dan di persilahkan masuk ke surau mengambil tempat untuk tinggal.

Alangkah gembiranya mereka kerena mendapat restu belajar dan sambil berlari mereka berebutan mengambil lokasi dimana keempat orang tersebut berebut mengambil lokasi ditiap sudut sementara si Pakiah Pono tenang tidak berebut tempat sehingga dia tidak kebagian lokasi

Melihat prilaku Pakiah pono yang bersahaja menimbulkan kagum dari sang Syeikh dan akhirnya si Pakiah Pono di anjurkan tinggal di rumahnya saja.

Ma’rifat berguru:

“Murid laksana mayat ditangan yang memandikan”

Sebuah pembelajaran yang diterapkan oleh Syeikh Abdurrauf dengan mudah dipahami Pakiah pono apalagi Pakiah pono dapat menjabarkan hakikat pelajaran tersebut dengan metoda yang bisa dipahami dengan mudah oleh orang awam.

Apalagi Latar belakang Pakiah Pono yang berasal dari keluarga bangsawan dan keahliannya dalam mengolah alam buah pembelajaran keras yang diberi Ayahnya Pampak Sati Karimun Merah, anak Tantejo Gurhano seorang Datu sakti di Pariangan sangat berguna diterapkan di pesantren sehingga Syeik Abdurrauf mempercayakan Pakiah Pono untuk  mengurus keperluan Pesantren, dari  membuat  dan memelihara ikan di kolam, Berkebun dan kesawah juga menggembala Sapi kepunyaan Sang Syeikh hal itu dia lakukan tanpa membantah karena pakiah pono menyadari dalam ilmu tareqat apapun alirannya dalam menuntut ilmu “murid dihadapan guru ibarat mayat di tangan orang yang memandikannya” semakin tinggi kepatuhan seorang murid terhadap guru maka semakin tinggi keyakinannya pada dirinya sendiri sehingga tanpa disadari terbuka hijab ilmu Allah dan dasar inilah yang memunculkan kejadian-kejadian yang tidak terduga terjadi.

Makanya tiap orang yang mendalami ilmu tareqat berlainan kelebihan-kelebihan yang dia dapatkan karena ilmu tersebut dia dapatkan hasil dari hijabah yang dialakukan sendiri sehingga walau dengan gurunya sekalipun penampakan kelebihan itu tidak sama.

Secara harfiah Tareqat maknanya adalah Jalan atau cara dimana dalam hal ini dinisbatkan untuk jalan mendekatkan diri pada Allah.

 Ya Tuhanku, Engkaulah yang aku tuju,

 Keridha’anMulah yang  aku cari,

Kuharapkan kasih sayangMu,

Serta mengharapkan menjadi hambaMu yang senantiasa cinta dan terdekat dengan Mu.

Untuk mencapai ini dalam ilmu tashauf dibutuhkan seorang mufti atau guru pembimbing yang bisa dipercaya secara lahir maupun bathin karena menyangkut penyerahan kehidupan sang murid secara bulat.

Setelah penyerahan ini sang murid telah menghipnotis dirinya untuk tidak lagi menguasai dirinya secara penuh maka disinilah letak terbukanya hijab Allah karena sang murid hidup dalam keadaan sadar dalam ketidak sadaran dalam artian dia sadar sesadar sadarnya disaat raganya berada tidak dalam kekuasaan otak kecilnya yang penuh logika secara penuh melainkan dikuasai oleh otak besar yang memiliki gelombang penglihatan tanpa batas.

Untuk ujian kepatuhan ini Syeikh Abdurrauf menguji siswanya dengan merendahkan martabat sang siswa dengan cara menyuruhnya menyelam di kolam tempat pembuangan tinja ratusan penghuni pesantren.

Dalam ujian ini tidak seorangpun dari siswa Pesantren yang mau melakukannya kecuali Pakiah pono.

Dalam hikayat, Suatu hari Syeikh Abdurrauf menguji siantrinya dengan memanggil dan menyuruh mereka untuk mengambil bejana yang menurut sang Syeikh jatuh di WC pesantren yang penuh kotoran manusia.

Dari sekian banyak santri hanya Pakiah ponolah yang mau sepenuh hati menyelami WC penuh tinja tersebut tanpa memperhitungkan bau busuk kotoran dan menyerahkannya pada sang Guru setelah dia samak dan bersihkan.

Maka berbinarlah mata Sang guru karena dia mendapatkan murid yang benar-benar akan bisa mewarisi aliran ilmu yang dia pelajari dan pahami selama ini.

Ketika Syeikh Abdurrauf dapat undangan ke sebuah pulau maka dia bergegas pergi dengan beberapa santri dan berpesan pada santri yang tinggal agar menyuruh Pakiah Pono menyusulnya kepulau tersebut.

Mendapat tugas dari sang guru yang dia junjung tinggi Pakiah Pono bergegas ke tepi pantai tetapi setiba di tepi pantai dia tidak mendapat sebuah perahupun untuk bertolak ke pulau

karena Pakiah Pono cucu Tantejo Gurhano sang Datu ternama Pariangan, maka menguasai alam bukanlah sesuatu yang sulit apalagi dengan bekal pengetahuannya tentang sari’at Islam dan pemahamannya akan maksud kandungan Alqur’an sudah sangat mendalam dan jabaran dari ma’rifat asmaul husna sudah dia pecahkan maka atas izin Allah dengan keyakinan penuh tubuhnya menjadi ringan seringan kapas dan dia bisa berjalan diatas air seakan-akan ada kayu penyangga yang menopangnya saat dia melangkah menuju pulau, Peristiwa ini disaksikan oleh santri baik dari daratan maupun di seberang pulau  sehingga ini menjadi salah satu kekeramatan Pakiah Pono.

Kejadian serupa juga terjadi disaat Pakiah Pono sedang membetulkan atap rumah dimana ada potongan kayu terjatuh dan akan mengenai anak gadis Sang Guru maka dengan seketika Pakiah Pono melayang kebawah untuk menyambut kayu tersebut.

Kalau dalam ajaran ayahnya dia menggunakan ilmu Shastra-Shakuna teknik mengatasi gravitasi alam.

Salah satu peristiwa mashur yang menjadi pegangan kaum shufi adalah disaat Pakiah Pono diuji ke imanannya akan godaan wanita.

ratuSaat itu Pakiah Pono disuruh menjaga anak gadis sang Guru yang lagi mekar-mekarnya dirumah sementara Syeikh Abdurrauf pergi memenuhi undangan panggilan kerajaan.

Kiranya hormon pertumbuhan Pakiah Pono sedang memuncak pula maka bangkitlah nafsunya melihat sang anak majikan yang sedang ranum menjadi tanggungannya.

Inilah perang sangat dahsyat yang dialami Pakiah Pono perang melawan hawa nafsu sendiri disaat nafsu sedang memuncak.

Untuk melawan nafsunya sendiri dia mengambil keputusan yang sangat mahal dengan pergi menjauh dan memukul alat kelaminnya dengan batu.

Bagi Pakiah Pono dari pada jadi budak nafsu seitan dan menjadi orang terbuang didunia dan diakhirat lebih baik menghukum alat kelamin yang menjadi sumber pemicu pelampiasan hawa nafsu.

Meski peristiwa ini disesalkan sang guru namun itu sudah merupakan keputusan yang tidak bisa dirubah lagi dan sejak saat itu bergarislah tabir bahwa Pakiah Pono tidak bisa memiliki keturunan dari darahnya dagingnya sendiri karena alat kelaminnya sudah rusak.

“PAKIAH PONO DIBERI GELAR SYEIKH BURHANUDDIN”

images_084Cukup lama Pakiah Pono menderita penyakit akibat cidera alat kelaminnya dan ketika sembuh dia tetap melakukan tugas semula seperti melayani kebutuhan santri dengan bijak, mengikuti dan menyimak alur pemerintahan kesultanan Aceh yang kelak sebagai bekalnya ikut masuk menata adat istiadat dikampung halamannya.

Hal inilah yang membuat Syeikh Abdurrauf menjadi lebih perhatian padanya.

Adapun Pembelajaran yang diterapkan Syeikh Abdurrauf pada Pakiah Pono merupakan metoda baru yaitu dengan pendekatan tali bathin.

Tidak ada jarak antara santri dengan murid sehingga pelajaran yang diberikan melalui lisan dengan mudah dapat dipahami Pakiah pono apalagi cara belajarnya juga beda suasana dengan yang lain.

Dengan demikian Pakiah pono dapat menjabarkan hakikat pelajaran tersebut dengan metoda yang bisa di pahaminya.

Karena minat serta perhatiannya sungguh luar biasa apalagi diikuti dengan daya ingatnya yang tinggi membuat Pakiah Pono termasuk murid yang terpandai di antara santri lainnya.

Tidak heran Syekh Abdur Rauf mencurahkan segala ilmu yang pernah dipelajarinya, dan Pakiah Pono pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dimana kesempatan tersebut dia pergunakan sebaik mungkin sehingga Ilmu syariat Islam yang bercabangkan fikh, tauhid, tasauf, nahu, sharaf, hadits, ilmu taqwim (hisab) dan juga ilmu firasat dapat dia kuasai.

kitab abdurraufSuatu ketika Pakiah Pono dibawa Syeikh Abdurrauf ke surau besar dan kemudian menyuruh Pakiah Pono membuka lembaran Kitab dan Syeikh Abdurrauf mengajarkannya sekali jalan dan kenyataannya seluruh isi dari kitab tersebut telah dikuasai oleh Pakiah Pono.

Itulah metode pembelajaran baru yang yang diterapkan Syeikh Abdurrauf pada Pakiah Pono yaitu dengan memberikan wejangan secara lisan terlebih dahulu kemudian baru membuktikannya dengan melihat isi kitab.

Dalam menuntut ilmu berbagai ujian berat di lalui Pakiah Pono hingga akhirnya berhasil lulus dengan baik dan sempurna dimana Syarat lulus Pakiah Pono belajar dengan  Syeikh Abdurrauf adalah Tajalli dengan Allah.

Man a’rafa Nafsahu

 Fakad a’rafa Rabbahu,

 Man a’rafa Rabbahu,

Fasaddal Jasadu

(Bila engkau mengenal dirimu

maka otomatis engkau mengenal Tuhanmu

Bila engkau mengenal Tuhanmu

Maka tiadalah berharga lagi kebendaan bagimu)

dan Ma’rifat ini didapatnya dengan berkhalwat mengkaji diri selama 40 hari di gua hulu sungai Aceh, di kaki Gunung Peusangan, sebelah selatan Beureun.

images_002Sepulang Berkhalwat dan hendak menuju Pondok pesantren Pakiah Pono disuruh melihat ke langit maka berbagai fenomena alam tak sadarnya terpampang disana.

Syeikh Abdurrauf menyuruh Pakiah Pono menceritakan apa yang terlihat olehnya untuk didengan santri lainnya.

Pakiah pono menceritakan bahwa ketika dia melihat ke atas terlihat olehnya 7 lapisan langit dan diatasnya terdapat bentangan tupah berisi ayat-ayat Alqur’an  tempat dimana Allah memerintah Malaikat Zibril membawa Alqur’an tersebut kepada Nabi Muhammad SAW.

Dan ketika dia melihat kebawah terlihat olehnya 7 lapis Pitalo bumi dengan segala isinya.

Kesemua penglihatan Pakiah Pono dijabarkan oleh Syeikh Abdurrauf sehingga para santri yang lain bergetar hatinya dan mengakui betapa kerdilnya manusia itu dihadapan Allah

Syekh Burhanuddin kembali ke Pariaman.

(3) pelabuhan Iskandar Muda kerajaan AtjehSetelah dirasa cukup menerima ilmu pengetahuan dari Syeikh Abdurrauf maka tibalah saatnya Pakiah Pono dikembalikan ke Pariaman meninggalkan Atjeh guna mengembangkan Agama yang dia pelajari selama ini.

Masa pendidikan itu berakhir dengan perpisahan antara guru dan murid yang berlangsung dengan penuh kasih sayang.

Menurut cerita terjadi percakapan antara Syekh Abdur Rauf dengan Syekh Burhanuddin yang berbunyi : “Saat ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu tiada taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui dengan sepenuh hati.

Berbahagialah Engkau, dengan rahmat dan karunia Tuhan, telah selamat menempuh masa khalwat  40 hari lamanya.

Engkau beruntung di dunia dan berbahagia di akhirat kelak.

Sekarang pulanglah engkau ke tanah tumpah darahmu menemui ibu bapamu yang telah lama engkau tinggalkan.

Di samping itu tugas berat dan mulia menantimu untuk mengembangkan Islam di sana.” Ujar Syeikh Abdurrauf yang disambut Pakiah Pono dengan kalimat hamdallah “ Alhamdulillahi Rabblil A’lamiin”.

Kemudian Syeikh Abdurrauf melanjutkan, “Pulanglah kamu kenegerimu, ajarkan ilmu yang ditakdirkan Allah, kalau kamu tetap kasih, takut dan malu kepadaku maka kamu akan mendapat hikmah, Tanganmu akan dicum raja-raja, Penghulu-penghulu, dan orang besar seluruh negeri, muridmu tidak akan putus hingga akhir Zaman, dan ilmu kamu akan memberkati dunia, karena Hatimu telah terbuka dan aku mendoa ke hadhirat Allah subhanahu wata’ala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam Minangkabau.

 Kini, engkau, aku lepaskan.

Namun dengarkan baik-baik!

Guru di Madinah ada empat orang, yakni Syekh Ahmad al Kusasi, Syekh Qadir al Jailani, Syekh Laumawi.

Ketika aku berangkat ke tanah Jawi ini, beliau memberi amanat yang harus kusampaikan kepadamu karena itu setelah ini engkau memakai nama Burhanuddin dimana nama tersebut pemberian dari guruku Syekh Ahmad al Kusasi itu untukmu jauh sebelum engkau berguru padaku dan ia menitipkan sepasang jubah dan kopiah.

Terimalah ini dari padaku supaya sempurna amanat yang kubawa dan suatu kemuliaan bagi engkau dengan sepasang pakaian ini tanda Ijasah kebesaran ilmu yang penuh di dadamu!”. Demikian isi perbincangan mereka.

Kejadian itu terjadi sekitar Tahun 1686 M. dimana merupakan hari Keberangkatan Pakiah Pono yang kini sudah bergelar Syeikh Burhanuddin untuk meninggalkan mesjid Singkil selama-lamanya.

Pakiah Pono alias Syeikh Burhanuddin dilepas Syeikh Abdurrauf dengan sebuah taufah dan membekalinya perahu disertai 70 orang yang akan mengawalnya selama dalam perjalanan.

Rombongan ini dipimpin oleh seorang Panglima yang bernama Katib sangko berasal dari Mudiak Padang Tandikek yang berlayar dengan Tentara Hindu Rupik dan kemudian menuntut ilmu pada Syeikh Abdurrauf kini dia diminta untuk mengantarkan Syeikh Burhanuddin sampai di kampung halamannya.

Alasan Syeikh Abdurrauf membekali Syeikh Burhanuddin pengawal karena dia yakin nanti akan mendapat tantangan berat sebab kala itu masyarakat Pariaman masih kental memeluk agama Hindu Budha sehingga banyak tukang –tukang sihir akan merintangi karena mereka tidak senang kesenangannya di usik dan ganti.

Setelah bertolak dari Atjeh rombongan Syeikh Burhanuddin singgah di Gunung Sitoli untuk menambah bekal air Minum maka disitu rombongan menggali sumur yang airnya tidak payau layaknya air dekat tepi Pantai melainkan bagai air pergunungan.

Setelah selesai shalat dan perbekalan dicukupkan maka rombongan Syeikh Burhanuddin bertolak kembali menuju Pariaman.

Menurut hikayat sumur yang ditinggalkan itu dijadikan orang sebagai tempat berobat maka bernamalah dia menjadi sumur niaik dan kemudian oleh perubahan dialek menjadi sumur nieh dan pulaunya dinamakan Pulau Niaeh (kini namanya Kepulauan Nias.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar