19 Desember, 2019

KH. Moch. Khozin Buduran-Sidoarjo


Sejarah singkat
KH. Moch. Khozin Buduran-Sidoarjo

Di Sidoarjo Jawa Timur terdapat sebuah daerah yang sejak dahulu dikenal sebagai tanah jujukan bagi para penuntuk ilmu. Nama daerah tersebut adalah Siwalan Panji – Buduran. Sederet nama-nama ulama terkemuka merupakan jebolan dari pesantren di tanah ini, seperti KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Nachrowi Thohir Bungkuk, Mbah Hamid Abdulloh Pasuruan, KH.R. As’ad Syamsul Arifin Situbondo, Mbah Ud Pagerwojo, Mbah Jaelani Tulangan, KH. Moch. Khozin, dan banyak lagi lainnya. Pondok pesantren yang pertama kali adalah Al-Hamdaniyah yang didirikan oleh ulama besar asal Pasuruan bernama Kiai Hamdani pada tahun 1787. Kelak, Kiai Hamdani akan diteruskan oleh kedua putranya yang bernama Kiai Abdurrohim dan Kiai Ya’qub.

Salah satu pondok yang ada di daerah ini, pada era berikutnya, bernama Pondok Pesantren Al-Khoziny. Penamaan Al-Khoziny sendiri dinisbatkan kepada salah satu pengasuh yakni almaghfurlah KH. Moch. Khozin Khoiruddin.

Mulanya, Kiai Moch. Khozin adalah santri pondok Siwalan Panji yang kemudian diambil mantu oleh pengasuh pesantren Silawan Panji almagfurlah KH. Abdurrohim dan dinikahkan dengan putrinya bernama Siti Maimunah. Pernikahan dengan Siti Maimunah ini dikaruniai enam keturunan yaitu Afifah, Sholhah, Siti Zubaidah, Kiai Basuni, Muhsinah, Ruqoyyah. Kemudian, menikah lagi dengan putri KH. Ya’qub yang bernama Siti Fatimah dan dikaruniai satu keturunan bernama Abbas. Tidak keterangan lebih lengkap mengenai pernikahan yang kedua ini.

Mbah Khozin, KH. Muhammad Khozin, adalah seorang kyai sepuh yang sangat zuhud dan tetap istiqamah mengajarkan al Hikam di sebuah mushola kecil bercat putih yang berlokasi di kompleks Pesantren Mahir ar-Riyadh, kampung Ringin Agung, Kencong-Kediri, Jawa Timur. Meski umur beliau lebih dari 80 tahun, kyai itu sehat, jelas bicaranya, dan pendengarannya masih bisa menangkap suara dengan baik.

Beliau melakukan aktivitas sehari-harinya di mushola, antara lain sembahyang, tidur, ngaji, wiridan, bersholawat 25.000 kali setiap hari, hingga bersantai hingga terima tamu. Rumah beliau yang persis ada di samping mushola, hanya digunakan untuk ganti baju, makan, bertemu istrinya dan 4 anaknya. Ketika mushola sepi, Mbah Khozin hanya ditemani kitab-kitab, alat tulis, dan kertas untuk catatan yang menumpuk rapi di atas meja.

Mbah khozin tidur beralaskan sajadah, jika sedang tidak tidur, sajadah dilipat, ditaruh di pengimaman. Di pengimaman itu pula ada sampiran tempat Mbah Khozin menaruh serban. Di sudut mushola ada kardus berisi air mineral untuk disajikan pada tamu.

Bila hari Jumat pagi tiba, mushola ramai banyak orang yang mengerumuni Mbah Khozin. Tentunya karena kapasitas mushola yang tidak besar, maka bagi yang terlambat datang, harus puas duduk di halaman beralaskan tikar, atau duduk di serambi asrama pesantren. Pada hari itu, mbah Khozin yang juga pengasuh pesantren, membuka pengajian umum. Kitab yang dibaca karya Syekh Ibnu Atho’illah as-Sakandari, yakni al-Hikam dan bila pada bulan puasa, Mbah Khozin membaca kita tersebut tiap hari, ba’da subuh.

Pengajian al-Hikam yang Mbah Khozin penjabarannya sangat luas, sehingga disenangi. Yang mengaji banyak pula yang tidak bawa kitab, namun dari penjelasan yang diutarakan beliau, beliau sudah mampu memberi pemahaman dari keterangannya tersebut. Cara memberikan pengajaran adalah mengupas kulit hingga terdapat isinya sehingga sarinya dapat diperoleh oleh para santrinya.

Merunut ke belakang, sebelum Mbah Khozin menjadi pengasuh, Pesantren Mahir ar-Riyadh diasuh almarhum KH Zaid, salah satu Mursyid Tarekat Syadziliyah di Jawa Timur yang wafat pada hari Selasa, 18 Agustus 2009, di usia 90 tahun. Sepeninggal Kiai Zaid, Mbah Khozin meneruskan tradisi yang telah digerakkan pendahulunya, di antaranya meneruskan pengajian al-Hikam itu.

Karomah

KH Moch. Khozin dikenal sebagai seorang kiai yang kharismatik dan memiliki karomah. Dikisahkan saat Syaikhona Kholil Bangkalan melaksanakan ibadah haji, bermimpi bertemu dengan Rasulullah ketika berada di Madinah (dalam kisah lain, Syaikhonan bermimpi bertemu Imam Syafi’i. Wallahu a’lamu). Dalam mimpi tersebut, Syaikhona dititipkan salam agar disampaikan kepada KH. Moch. Khozin yang ada di Siwalan Panji. Namun, saat itu Syaikhona Kholil masih belum mengenal siapa KH. Moch. Khozin. Selepas kapal yang ditumpangi Syaikhona bersandar di pelabuhan Surabaya (sekarang Tanjung Perak), Syaikhona tidak langsung pulang menuju Bangkalan melainkan ke Buduran dan mencari orang yang bernama Moch Khozin sebagaimana yang disarankan. Begitu sampai di Buduran, beliau menanyai beberapa orang yang dijumpainya, menanyakan rumah Khozin. Setiap jawaban yang beliau peroleh berfariasi, mulai Khozin tukang cukur rambut, tukang sepatu sampai profesi yang disebutkan, dan semuanya tidak cocok dengan sosok yang beliau bayangkan. Hingga suatu saat Syaikhona bertemu dengan seorang laki-laki tua berpakaian kaos oblong, memakai sarung yang agak dicincing sedang menyapu halaman sebuah rumah yang mirip sebuah pesantren dengan beberapa gothaan (bilik-bilik bambu para santri). Syaikhona lalu menghampiri laki-laki yang tengah sibuk dengan aktifitasnya tersebut. Setelah mengucapkan salam dan dijawab, Syaikhona bertanya ;

“Pak, dimanakah rumah Khozin?”
“Kalau nama Khozin, banyak disini”. Jawab orang tersebut.
“Tapi kalau Kiai hendak mencari Khozin yang dimaksud mendapat salam, ya saya ini Khozin yang beliau maksud”, lanjut laki-laki tersebut.

Syaikhona tersentak kaget setelah mendengar jawaban spontan tersebut. Serta merta beliau menjatuhkan koper perbekalan yang dibawanya dan mencium tangan laki-laki tua tadi berulang kali. Mendengar salam tersebut, Kiai Moch. Khozin akhirnya membuka khataman kitab Tafsir Jalalain pada setiap bulan ramadhan. Tahun demi tahun peserta khataman kitab bertambah banyak bahkan dari luar Sidoarjo. Pada saat itu, mode transportasi yang ada adalah kereta api yang dioperaikan pemerintah kolonial. Belum ada stasiun kereta api di Buduran tetapi setiap perjalanan kereta api selalu ada aja halangan yang menyebabkan kereta api berhenti dan dapat menurunkan penumpang yang ingin mengikuti pengajian kitab tafsir. Akhirnya, menurut cerita yang ada, pemerintah kolonial membuatkan stasiun kereta api. Banyaknya jama’ah yang ikut pengajian tafsir ini karena yang menyampaikan salam tersebut adalah Syaikhona sendiri. Akhirnya, disebutkan bahwa pengajian tafsir ini diikuti pula oleh ulama’-ulama’ besar yang tersebar di tanah jawa terutama ulama yang pernah nyantri ke Syaikhona.

Kisah karomah lain

tangan beliau hampir tak pernah lepas dari tasbihnya . sedang lisan beliau hampr tak pernah berhenti membaca sholawat dan dzikir . hingga amalan seperti itu menurun terhadap putranya yg bernama kyai muhammad itu . sedangkan putra beliau yang lain bernama kyai ghufron yang sangat alim dalam bidang ilmu alat-nya yaitu nahwu shorofnya .

sedikit kisah tentang kyai khozin ini . itu terjadi disaat penjajahan belanda dulu . saat terjadi baku tembak antara tentara belanda dengan para pejuang , banyak para pejuang yg sembunyi dibalik kere ( tutup serambi rumah yg terbuat dari bambu ) dirumah beliau . beliau saat melihat para pejuang itu langsung membantu mereka . ketika para tentara belanda sudah berada didepan rumah beliau , para tentara belnda itu langsung memberondong tembakan rumah beliau . namun yg terjadi adalah , kere bambu milik beliau itu tak sedikitpun rusak atau patah apalagi hancur . masih tetap utuh seperti tak pernah kena tembakan . nah , itulah yg membuat para tentara belanda tak berani memasuki rumah beliau . dan akhirnya para pejuang itupun selamat dari kejaran belanda tadi ...

Buduran

Pada Tahun 1926, Kiai Moch. Khozin mendirikan sebuah bangunan yang tidak jauh dari Siwalan panji yaitu di Buduran. Bangunan ini diperuntukan putra beliau yang sejak 10 tahun menetap dan berguru di tanah suci Makkah bernama Moch. Abbas. Awalnya, niat mendirikan bangunan hanya sebagai tempat kediaman putranya tersebut, sebab di Siwalan Panji sudah banyak generasi dan keturunan dari pengasuh yang lainnya. Akan tetapi, rupanya kedatangan Moch Abbas dari tanah suci ini mendapat sambutan sangat baik dari masyarakat sekitar Buduran sehingga mengharuskan untuk diubah menjadi pesantren. Menurut keterangan yang ada, semula pesantren di Buduran ini akan diasuh oleh Kiai Moch. Khozin sendiri, hanya saja kurang direstui oleh keluarga agar tetap fokus di Siwalan Panji. Kemudian diserahkanlah kepada Kiai Moch Abbas untuk mengurus dan menjadi pengasuh di sana. Sebagai santri pertamanya adalah beberapa santri Kiai Moch Khozin sendiri yang ada di Siwalan Panji.

Kiai Moch. Khozin wafat pada tahun 1955 M. Amanat untuk mengadakan khataman tafsir jalalain di setiap bulan ramadhan dilanjutkan oleh puteranya yang bernama KH. Moch Abbas,yang juga mewarisi sifat ayahandanya dengan kehidupam beliau yang sangat sederhana. Dikisahkan bahwa para kiai pengasuh pesantren Buduran tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana dengan alas tidur yang sederhana pula. Karena sederhananya, semua uang yang dapat dari pemberian orang disimpan di bawah tikar tempat tidur sampai beliau meninggal baru diketahui jumlah uang dan banyak uang yang sudah tidak berlaku. Karena kesederhanaan inilah sehingga beliau disebut shufi ataupun waliyullah.

Sekarang, pesantren Al-Khoziny terkenal dengan lima tarekat Al-khoziny, antara lain: belajar ataupun mengajar, shalat berjama’ah, membaca Al-Qur’an, shalat witir, dan istiqamah. Alfatihah


Sumber :
* Majalah langitan sidoarjo
* ustad Sueb Nur Ali, dari Gus Tammar Tlagah Gelis Bangkalan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar