Kita adalah bersaudara di dunia dan akhirat dengan keyakinan, Lailahaillallah Muhammadurrasulullah,
22 Desember, 2019
Kisah Al-Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi Seiwun dan Kiai Hasan Sepuh Genggong
Kisah Al-Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi Seiwun dan Kiai Hasan Sepuh Genggong
Ada sebuah kisah menarik. Diceritakan ketika zaman Alhabib Ali bin Muhammad bin Husain Al Habsyi Seiwun (pengarang Maulid Simthuddurar). Ada seorang Auliya Allah bernama Al habib Abdul Qadir bin Quthban Assegaf. Habib Abdul Qadir bin Quthban adalah seorang ‘alim yang sangat gemar bersilaturrahim kepada para ‘alim ulama’ para waliyullah yang masih hidup di zaman tersebut. Kegemaran Beliau bersilaturrahim bukan hanya terbatas di wilayah Hadramaut Yaman saja. Tapi juga sampai ke pulau Jawa Indonesia.
Bahkan juga sampai ke kediaman Hadratussyaikh KH. Mohammad Hasan Sepuh Genggong Probolinggo. Ketika tiba dikediaman Kiai Hasan Sepuh Genggong, Habib Abdul Qadir disambut dengan ramah. Beliau berdua pun berbincang bincang. Tentunya dengan bahasa arab.
Sampai pada akhirnya kiai Hasan sepuh bertanya, yang kalau diterjemahkan :
“Habib, bagaimana kabarnya Habib Ali Habsyi Seiwun (pengarang Simtudhurar)??”.
Ditanya seperti itu, Habib Abdul Qadir terkejut dan terheran-heran. Bagaimana bisa Kiai Hasan Sepuh Genggong mengenali Habib Ali Habsyi Seiwun. Sedangkan Kiai Hasan secara dzahir tidak pernah ke Hadramaut Yaman, dan Habib Ali Habsyi Seiwun juga tidak pernah ke Indonesia.
Seolah mengetahui apa yg ada dihati Habib Abdul Qadir, Kiai Hasan kembali berkata :
“Habib Ali Al Habsyi Seiwun itu kulitnya seperti ini … (menyebutkan), wajahnya begini… (menyebutkan), kalau duduk seperti ini… (disebutkan), jalannya seperti ini… (disebutkan), di kediaman Habib Ali rumahnya seperti ini… (menyebutkan), di depannya ada masjid bernama Masjid Riyadh dan tiangnya ada… (menyebutkan)”.
Dan bertambah kagumlah Habib Abdul Qadir bin Quthban. Takjub oleh Kiai Hasan Sepuh Genggong yang menyebutkan secara detail seolah-olah beliau sangat akrab dengan Habib Ali Habsyi dan mengetahui keadaan rumahnya di kota Seiwun Hadramaut Yaman. Padahal Kiai Hasan tidak pernah sampai ke sana. Lalu setelah cukup berbincang-bincang, tak lama kemudian, Habib Abdul Qadir bin Qithban pun berpamitan pulang.
Ketika sekembalinya dari tanah Jawa ke Yaman. Habib Abdul Qadir bin Quthban mengunjungi kota Seiwun, untuk bertemu dengan Al Imam Al ‘Arifbillah Al Habib Ali Al Habsyi Seiwun.
Ketika sudah sampai di kediaman Habib Ali Habsyi dan berhadapan dengan beliau, ditengah-tengah perbincangan, Habib Ali Al Habsyi bertanya :
“Wahai Sayyid Abdul Qadir, apakah di Jawa engkau bertemu dengan seorang syekh bernama Hasan Jawi (Jawa maksudnya)”.
Habib Abdul qadir teringat pertemuannya dengan Kiai Hasan Sepuh Genggong. Beliau mengangguk meng-iyakan. Lalu Habib Ali Al Habsyi berkata :
“Syekh Hasan itu kulitnya seperti ini… (menyebutkan), wajahnya seperti ini… (menyebutkan), duduknya begini… (mencontohkan), jalannya seperti ini… (menceritakan), dan di rumahnya begini… (menjelaskan)”.
Hingga Habib Abdul Qadir takjub dengan detailnya penjelasan Habib Ali Seiwun tentang Kiai Hasan seolah keduanya adalah sahabat karib yang akrab. Padahal Habib Ali Seiwun tidak pernah ke indonesia. Subhanallah.
Nah, begitulah jika seseorang telah diangkat derajatnya oleh Allah. Maka dunia tidak lebih hanyalah barang mainan saja. Meski dahulu tidak ada alat komunikasi seperti handphone ataupun TV,
namun berkat karomah dari Allah, beliau berdua telah saling mengenal dalam dunia bathiniyah.
Ketika haul Al ‘Arifbillah Al Habib Ali Habsyi Seiwun Shahib Simutuddurar di kota Solo, salah satu dari cucu Kiai Hasan Sepuh Genggong sowan ke Habib Anis bin Alwi bin Al Imam Ali Al Habsyi Seiwun. Cucu dari Habib Ali Simtudhurar.
Saat Habib Anis tahu bahwa yang sowan adalah cucu Kiai Hasan Genggong. Habib Anis tersenyum sambil berkata “Kakekku dan kakekkmu mempunyai ta’aluq bathin”.
Semoga kita yang penuh dengan dosa ini diampuni oleh Allah. Dan dengan rahmat Allah semoga kita dilayakkan untuk dimasukkan kedalam rombongan beliau para guru-guru kita auliya’ washalihin. Aamiin.
Al-Faatihah
Sumber : Majelis Al khair wal Barokah Genggong
KISAH SINGKAT KIAI ABDUL JALIL DENGAN PESONA KEZUHUDANNYA
KIAI ABDUL JALIL DENGAN PESONA KEZUHUDANNYA
=============================
Nun Abdul JalilNun Abdul Jalil (panggilan mulia bagi kiai), begitulah sapaan akrab sosok kiai putra pasangan Kiai Ahmad Nahrawi dan Nyai Marfu’ah ini. Pernikahan beliau dengan nyai MiYATUN dikaruniai seorang putri bernama HIMMATUL AZDIMMAH yang meninggal pada usia tujuh bulan. Peristiwa meninggalnya putri beliau cukup ironis, jika kebanyakan para orang tua berdo’a untuk kesehatan dan keselamatan anaknya, beliau justru berdo’a agar putri semata wayangnya segera meninggal dan kembali ke sisi Allah S.W.T. beliau mendo’akan putrinya meninggal agar kelak di akhirat menjadi “wildan” (anak yang menunggu kehadiran orang tuanya untuk masuk surga). Beliau wafat dalam usia 27 tahun pada selasa wage tanggal 1 Robi’ul Awal 1378 H yang bertepatan dengan tanggal 10 Juni 1967 M.
Di komplek pesantren Zainul Hasan Genggong, beliau dikenal sebagai kiai yang ‘alim dengan pesona kezuhudannya, hal tersebut dapat kita lihat dari kehidupan sehari-harinya yang sangat sederhana.Dirumahnya yang hanya berdinding “gedek” (anyaman bambu) dengan lantai tanpa ubin dan beralaskan tikar yang telah robek disana-sini, bahkan tempat tidur beliaupun terbuat dari bambu tanpa kasur. Namun, beliau senantiasa hidup ikhlas dan selalu berserah diri kepada Allah sang pencipta alam semesta. Pesona kezuhudan beliau juga nampak pada pakaiannya yang compang-camping penuh tambalan. Jahitan demi jahitan baju dan sarung beliau sangat tidak rapih bahkan kontras antara benang jahitan dan baju yang ditambal. Dikalangan para santri dan masyarakat sekitar, beliau dikenal sebagai sosok kiai yang enggan memikirkan duniawi. Ketika beliau wafat pun hanya memiliki satu kain sarung saja, itupun kain sisa-sisa empat sarung lama beliau yang dijahit menjadi satu.
Kebiasan putra-putra kiai dimasa lalu adalah bermukim bersama para santri di bilik kecil asrama santri pondok pesantren. Tempat bermukim beliau di pondok Genggong adalah asrama K persis di belakang masjid Al-barokah Genggong, asrama yang hanya memiliki tiga bilik kecil tersebut beliau tempati bersama sang kakak kiai Nawawi dan beberapa khodim yang mengabdi kepadanya. Keistiqomahan beliau dalam bermunajat kepada Allah, melakukan shalat tahajjud dan shalat dhuha biasa beliau lakukan di asrama tersebut. Bahkan, hingga kini para santri masih sering menggunakan asrama tersebut sebagai tempat tirakat (jalan mendekatkan diri kepada Allah).
Ustadz Mohammad Hasan Qalyubi, salah seorang santri kuno dari pesantren tempat beliau tinggal menyebutkan, beliau dikategorikan sebagai “hinanya manusia dari pandangan fisik kemanusiaan”. Pasalnya, sejak lahir Nun Abdul Jalil menderita lumpuh dan harus dipapah jika hendak berjalan. Namun mengenai pengetahuan ilmu agamanya, beliau terkenal sangat “alim” (sebutan bagi orang yang mahir ilmu agama) meski sama sekali tidak pernah bersekolah. Beliau hanya sempat sekedar belajar kepada Kiai Syamsuddin yang tak lain adalah ipar kakek beliau sendiri yakni KH. Mohammad Hasan Genggong. Sebuah pendapat mengatakan bahwa beliau termasuk salah seorang kiai yang pernah menerima ilmu “ladzunni” (pangkat keilmuan langsung dari Allah melalui jalan karomah). Jika kebanyakan para ulama’ soleh mendapatkan ilmu “ladzunni” dengan cara memakan kayu “iktsir” (kayu yang berasal dari taman surga), namun beliau justru mendapatkan karomah ilmu “ladzunni” tersebut secara langsung.
Ustadz Syaifuddin, seorang “khodim” yang mengabdi selama lima tahun kepada beliau menceritakan bagaimana hal ikhwal datangnya ilmu ladzunni tersebut. Pada suatu saat, Nun Abdul Jalil berkumpul seraya beramah tamah dengan para “khodimnya”. Syaifuddin mencoba memberanikan diri bertanya mengenai asal muasal nama beliau, sang kiai pun tidak keberatan menceritakannya.
Mulanya beliau bercerita tentang seorang pemuda bernama Abdul Jalil di daerah warung dowo pasuruan yang setiap harinya dengan tekun dan sabar berjalan kaki sejauh delapan belas kilometer menuju pesantren Sidogiri untuk menimba ilmu kepada kiai Nawawi. Suatu ketika pemuda tersebut meminta do’a pada kiai Nawawi agar mudah memahami ilmu agama yang telah diajarkan. Kiai Nawawi justru memerintahkan pemuda tersebut untuk selalu membaca surah Yasin sebanyak empat puluh satu kali setiap selesai melaksanakan shalat wajib. Selama dua tahun lamanya dengan tekun pemuda tersebut senantiasa melakukan apa yang diperintahkan kiainya. Meski telah cukup lama pemuda tersebut membaca surah Yasin, namun tidak ada perubahan yang berarti pada dirinya. Hingga akhirnya disuatu hari pemuda tersebut berpamitan pada kiai Nawawi untuk berziarah kepada kiai Abu Syamsuddin Batu Ampar Madura. Disanalah kemudian pemuda tersebut bermimpi bertemu nabi khidir yang memintanya memilih harta atau ilmu, dengan hati tulus pemuda tersebut lebih memilih ilmu daripada harta. Sang pemuda kemudian pulang ke Pasuruan, tak lama berselang pemuda tersebut dikenal “alim” ilmu agamanya dan dinikahkan oleh salah seorang putri dari kiai Nawawi Sidogiri.
Mendengar kisah tersebut, Kiai Ahmad Nahrawi ayahanda Nun Abdul Jalil datang bersilaturrahmi kepada pemuda tersebut seraya meminta izin untuk memberikan nama putranya Abdul Jalil dan pemuda tersebut pun mengijinkannya, dari situlah asal muasal nama Abdul Jalil disandangkan pada beliau. ketika Nun Abdul Jalil belum menyelesaikan ceritanya, salah seorang “khodim” karena penasaran kembali bertanya apakah ke”alim”an beliau mengenai ilmu agama sama dengan pemuda bernama Abdul Jalil tersebut. Sontak saja beliau langsung mengalihkan pembicaraan dan mengatakan bahwa dirinya masih bodoh. Nampaknya beliau terlihat menyampaikan pesan bahwa ke“alim”an beliau dalam ilmu agama adalah sebuah berkah dan karomah yang beliau miliki. Pernah disuatu ketika kakak beliau Kiai Ahmad Tuhfah Nahrawi bertanya apakah beliau tidak pernah berdo’a meminta ilmu, beliau menjawab lebih baik berdo’a meminta dibersihkan hati daripada banyak ilmu tapi nantinya justru lupa diri karena hati tidak bersih.
SENANTIASA BERSILATURRAHMI DAN BERZIARAH
Peristiwa-peristiwa ganjil dan sulit diterima akal, tanpa sengaja sering muncul dari sosok Nun Abdul Jalil pada masa hidupnya, sejumlah santri dan khodimnya dibuat tercengang dengan kejadian-kejadian yang mereka alami. Kebiasaan Nun Abdul Jalil bersilaturrahmi kepada para ulama’ dan kegemaran beliau berziarah ke makam para wali mengisahkan sebuah cerita menarik.
Suatu ketika Nun Abdul Jalil bertamu ke rumah salah seorang santri di daerah kecamatan Maron, dengan menggunakan Andong (kereta kuda jaman dulu) beliau bersama khodimnya menyusuri jalan tak rata menuju arah selatan pondok Genggong. Ketika rombongan beliau sampai di rumah santri yang dituju, beliau teringat bahwa kopyah yang biasa dikenakan tertinggal di kediamannya. Kemudian beliau meminta khodim yang menemaninya kembali ke pondok Genggong untuk mengambil kopyah tersebut. Tak berselang lama sang khodim pun kembali dari pondok Genggong dengan tangan kosong tanpa membawa kopyah Nun Abdul Jalil. Rupanya sang khodim baru saja mengalami kejadian magis diluar nalarnnya, pasalnya sang khodim tak kuasa mengangkat kopyah Nun Abdul Jalil dari atas mejanya. Bukan karena kopyah beliau terbuat dari bahan yang berat, namun karena meja tempat kopyah tersebut diletakkan ikut terangkat saat kopyah dibawa. Sambil tersenyum beliau kembali meminta sang khodim kembali ke pondok Genggong untuk mengambil kopyah tersebut, kepada sang khodim beliau menyatakan tidak ada kopyah yang menempel pada meja. Tak ayal sesampainya di kediaman Nun Abdul Jalil, kopyah tersebut ternyata tidak menempel lagi di meja.
tempat mukim Nun Abdul Jalil bersama santri & khodim
Tempat mukim Nun Abdul Jalil bersama santri & khodim
Diketahui bahwa Nun Abdul Jalil belum pernah menunaikan ibadah haji semasa hidupnya. Dimasa itu biaya perjalanan ibadah haji hanya enam puluh ribu rupiah, meski telah bertahun-tahun beliau mengumpulkan uang untuk perjalanan menunaikan haji, namun tetap saja jumlah tabungan beliau tidak mencukupinya. Uniknya, saat beliau bertamu kepada salah satu santrinya yang lain di desa liprak bagian selatan yang baru saja tiba dari tanah suci Makkah usai menunaikan haji, santri tersebut berkali-kali mengucapkan syukur karena telah berkesempatan bertemu beliau saat menunaikan ibadah haji di Makkah, padahal Nun Abdul Jalil jelas-jelas tidak pernah pergi ke Makkah untuk berhaji.
Tidak hanya itu, saat H. Tohir salah seorang santri asal desa Ketompen kecamatan Pajarakan hendak menunaikan ibadah haji, beliau sempat menitipkan salam kepada santri tersebut untuk disampaikan kepada sembilan wali yang dikebumikan di (jabal auliya’) disekitar kota Makkah. Rupanya makam para wali tersebut tidak pernah diketahui oleh khalayak umum, karena tidak pernah tercantum dalam demografi kota Makkah. Santri yang menerima pesan itupun cukup kebingungan terhadap maksud dari salam beliau, karena takdhim kepada sang kiai santri tersebut tetap melakukan tugas yang telah diembannya. Sesampainya di kota Makkah, benar adanya makam sembilan wali tersebut berjejer di sebuah bukit, ironisnya bukit dan makam tersebut tidak pernah tampak karena memang tidak ada di dunia nyata. Usai menyampaikan salam beliau kepada sembilan wali yang dimakamkan di (jabal auliya’) tersebut, bukit dan sembilan makam pun menghilang dari pandangan mata.
KERAP KALI BERJUMPA RASULULLAH & KHIDIR
Umumnya seorang kiai yang menjadi kekasih Allah memiliki karomah baik disaat masih hidup maupun setelah wafat. Tidak asing lagi bagi para santri kuno pesantren Zainul Hasan Genggong mengenai kebiasaan Nun Abdul Jalil mengirim surat kepada nabi Khidir ‘alaihissalam melalui arus sungai yang berada disebelah barat pesantren Genggong. Pada saat-saat tertentu beliau senantiasa mengirimkan surat tersebut ketika sedang meminta rejeki kepada Allah. Jika surat yang beliau kirimkan dengan cepat terbawa arus sungai, maka hal itu merupakan sebuah isyarat bahwa beliau akan mendapatkan rizki. Namun jika surat yang beliau kirimkan melalui arus sungai tersebut hanya diam ditempat beliau melemparkannya, maka pertanda beliau belum mendapatkan rejeki dalam waktu dekat.
Selain kebiasan mengirimkan surat, sering kali nabi Khidir ‘alaihissalam hadir kerumah beliau baik melalui mimpi maupun hadir dalam dunia nyata. Melalui mimpi, Nun Abdul Jalil sering bertemu Rasulullah S.A.W. Tak heran jika dimasa itu setiap kali ada pejabat pemerintah berkunjung ke pesantren Zainul Hasan Genggong, beliau selalu keluar dari lingkungan pesantren. Pasalnya, jika beliau ikut terlibat dalam penyambutan tamu pemerintahan tersebut, Rasulullah S.A.W enggan kembali hadir dalam mimpi-mimpi beliau.
Pernah suatu ketika Rasulullah S.A.W cukup lama tidak hadir menemui beliau, kemudian KH. Mohammad Hasan Genggong memberikan isyarat seraya bertanya apakah beliau tidak pernah didatangi lagi oleh orang yang telah mati. Dengan ijin Allah, Rasulullah S.A.W kembali hadir menemui beliau. Dalam mimpinya, Rasulullah S.A.W pernah menegur beliau karena sempat memikirkan masalah duniawi. Disaat itu beliau tengah menyewa sebidang tanah sawah berukuran kurang lebih dua ratus meter persegi kepada seseorang dengan rencana akan menggarap sawah tersebut untuk ditanami. Kemudian Rasulullah S.A.W hadir ketika beliau tidur dan menanyakan mengapa beliau masih mencintai dunia. Saat terbangun dan tanpa berpikir panjang beliau langsung menyerahkan tanah sawah yang baru saja beliau sewa kepada tetangganya untuk ditanami, beliau menyerahkan sepenuhnya tanpa meminta imbalan apapun.
AHLI DALAM MEMUTUSKAN HUKUM FIQIH
Melalui aliran sungai ini Nun Abdul Jalil mengirim surat kepada Nabiyullah Khidir Alaihissalam
Melalui aliran sungai ini Nun Abdul Jalil mengirim surat kepada Nabiyullah Khidir Alaihissalam
Dikalangan para santri kuno pondok Genggong, selain terkenal kezuhudannya sosok Nun Abdul Jalil juga dikenal mahir mengenai persoalan ilmu agama. Beliau ahli dalam ilmu fiqih dan hadits, beliau juga mahir dalam bidang ilmu ‘arut (ilmu tentang menciptakan sya’ir lagu) dan ta’bir mimpi. Ustadz Sholeh Hasan seorang santri yang sempat mengikuti masa hidup Nun Abdul Jalil menceritakan cara mengajar beliau, kebiasaan beliau mengajar para santri yakni pada pukul tiga dini hari dengan durasi waktu yang hanya sebentar saja sekitar lima hingga sepuluh menit. Cara mengajar beliau juga berbeda dari para kiai lainnya, setiap kali beliau memberikan penjelasan dan keterangan mengenai kitab yang diajarkan, beliau hanya menuliskan beberapa kalimat penting dari isi kitab tersebut. Disamping itu, kitab yang beliau ajarkan kepada para santri hanya ditempelkan saja ke wajah beliau, hal ini mengisyaratkan bahwa beliau telah menghafal dan memahami seluruh isi kitab tersebut. Setelah mengajar beliau hanya berdo’a semoga para santri mendapat ilmu yang barokah.
Dengan kondisi fisik yang memiliki kekurangan tersebut, tidak menjadikan Nun Abdul Jalil dipandang sebelah mata oleh sejumlah kalangan. Beliau sering terlibat dalam beberapa kesempatan untuk memutuskan persoalan hukum Islam pada masa itu. Bahkan beliau selalu dijadikan tempat bertanya pamandanya KH. Hasan Saifourridjal jika terdapat sebuah permasalahan hukum fiqih yang sulit untuk diputuskan. Sebuah sumber menyatakan bahwa pamanda beliau sulit memutuskan sebuah hukum fiqih mengenai masa iddah seorang istri yang telah dicerai suaminya, sang istri mengaku bahwa dirinya belum pernah melakukan hubungan intim dengan suaminya, namun sang suami justru membantah bahwa dirinya pernah melakukan hubungan intim dengan istrinya. Ketika persoalan hukum fiqih tersebut tidak dapat diputuskan oleh para ulama’ dimasa itu, beliau dengan tegas menyatakan bahwa sang istri yang telah diceraikan oleh suaminya tersebut tidak ada masa iddahnya dan boleh dinikahi oleh laki-laki lain.
Pada tahun 1962, terjadi sebuah perbedaan pendapat yang melibatkan sejumlah ulama’ pada masa itu. Perselisihan pendapat terjadi antara KH. Hasan Saifourridjal pengasuh pondok Genggong, KH. Zaini Mun’im pengasuh pondok Nurul Jadid, dan KH. As’ad Syamsul Arifin pengasuh pondok Sukorejo Situbondo. Ketika itu ketiganya adalah pengurus Nahdlatul Ulama’, ketiganya terlibat perselisihan mengenai kontroversi boleh-tidaknya kaum perempuan memainkan drum band. Perlu diketahui pada masa itu merupakan masa penjajahan kolonial Belanda, dimana drum band biasa digunakan oleh orang Belanda sebagai media musik penyambutan tamu dan perang. Persoalan hukum fiqih tersebut semakin rumit dipecahkan karena antara KH. Hasan Saifourridjal yang menghukumi boleh dan KH. Zaini Mun’im yang menghukumi haram perempuan memainkan drum band menggunakan referensi yang sama-sama kuat dan meyebabkan keputusan hukum fiqih tersebut sempat tertunda beberapa saat.
Akhirnya disuatu pagi sekitar pukul 9 Nun Abdul Jalil mendatangi kiai As’ad Syamsul Arifin di Situbondo, beliau menanyakan bagaimana hukum yang benar sesuai dengan keputusan Rasulullah S.A.W. kiai As’ad Syamsul Arifin menyatakan bahwa Rasulullah S.A.W memutuskan boleh kaum perempuan memainkan drum band. Rupanya Rasulullah S.A.W telah terlebih dahulu hadir kepada ulama’ sepuh pengasuh pondok Sukorejo tersebut, kiai As’ad Syamsul Arifin menceritakan bahwa ketika Rasulullah S.A.W menemui beliau didampingi oleh KH. Mohammad Hasan Genggong dan kiai Ahmad Nahrawi Genggong yang tak lain adalah ayahanda Nun Abdul Jalil.
__________________________
Sumber: Majalah Genggong Edisi 3/XII/2011
21 Desember, 2019
Biografi Syaikh Hasan Ma’sum
Biografi Syaikh Hasan Ma’sum
Syaikh Hasan Ma’shum ini lahir di Labuhan Deli, Sumatera Utara pada tahun 1300H/1882M, Syekh Hasan Ma'sum merupakan sufi dari Tarekat Naqsyabandiyah, meskipun ada klaim bahwa ia juga menganut Tarekat Khalwatiyah. Sebagai sufi tidak membuat Syekh Hasan pasif terhadap kehidupan sosial, bahkan politik. Dalam bidang sosial, ia mendedikasikan diri kepada organisasi Al Jam'iyatul Washliyah dan Al Ittihadiyah sebagai dua organisasi kaum tua yang sangat patuh terhadap fikih Syafi'iyah. Syekh Hasan menilai bahwa Islam akan dapat dikembangkan oleh umat Islam melalui lembaga-lembaga keagamaan secara kolektif.
Syekh Hasan Ma'sum yang merupakan teman sejawat Syekh Muhammad Zain Nuruddin Batu Bara di Makkah, Ulama besar Nusantara asal Batubara, Sumatera Utara, salah seorang murid Syekh Mukhtar ibn Atharid al-Bughuri. Selain itu, adapula sahabatnya yang lain bernama Syekh Abdul Hamid bin Mahmud Asahan, Syekh Hasan Ma'sum dan Syekh Abdul Hamid Mahmud Asahan keduanya adalah murid dari Syekh Ahmad al-Fathani.
Sedangkan dalam bidang politik, ia menerima tawaran Sultan Kesultanan Deli untuk menjabat sebagai mufti Kesultanan. Sosoknya dikenal sebagai seorang yang berilmu pengetahuan luas, mengajar di madrasah kesultanan, karier dan reputasinya kian cemerlang, hingga akhirnya Sultan Deli saat itu, Sri Sultan Ma’moen al-Rasyid Perkasa Alamsyah (memerintah 1879-1924 M), melantiknya sebagai mufti dan qadhi Kesultanan Deli. Pada awalnya, ia menolak dengan sejumlah alasan, namun akhirnya ia menerima amanah itu, sejak saat itulah ia mendapat gelar Imam Paduka Tuan. Ia juga mengajar di Masjid Raya, Masjid Kesultanan Deli.
Silsilah
Ayah dan Datuk Syekh Hasan hingga beberapa lapis ke atas semuanya adalah Ulama. Mereka berasal dari Pasai (Aceh) sebelum berpindah ke Deli. Sang ayah, yaitu Syekh Ma’shum ibn Abi Bakar Deli, tercatat sebagai Ulama besar Kesultanan Deli pada masanya yang mengajar di madrasah kesultanan tersebut, dan juga seorang guru yang terkenal ketika itu sebagai ahli tasawuf,
bahkan merupakan seorang hartawan yang berpangkat
Syahbandar bergelar Datuk.
Guru beliau
1.Syekh Muhammad Ma'shum bin Abi Bakar ad-Dali
2.Mr. Henry
3.Syekh Abdul Salam Kampar
4.Syekh Ahmad Khayyat
5.Syekh Ahmad Khatib Minangkabau
6.Syekh Muhammad Amin Ridwan al-Madani
7.Syekh Abdul Qadir bin Shabir al-Mandaili
8.Syekh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki
9.Syekh Abdul Hamid Kudus
10.Syekh Saleh Bafadhal
11.Syekh Utsmân Tanjung Pura
12.Syekh Sa‘id al-Yamani
13.Syekh Abdul Karîm ad-Dagestani
Murid beliau
1.Syekh Muhammad Yunus
2.Syekh Muhammad Baharuddin Thalib Lubis
3.Syekh Muhammad Arsyad Thalib Lubis
4.Haji Abdurrahman Syihab
5.Haji Ilyas
6.Syekh Zainal Arifin Abbas
7.Haji Mahmud Abu Bakar
8.K.H. Shaleh
9.Abdul Malik
10.Ustaz Adnan Lubis
11.Ustaz Muhammad Yusuf Ahmad Lubis
12.Ustaz Muhammad Arifin Isa
13.Ustaz Bahrun Saleh Nasution
14.Ustaz Bahrum Ahmad
15.Zakaria Abdul Wahab
16.Ali Usman
17.Muhammad Yusuf
18.Abdul Rauf
19.Suhailuddin
20.Kudin
Ketokohan dan pengaruh beliau
1 Ulama Kesultanan Deli
2 Pengajar Masjidil Haram
3 Mufti Mazhab Syafi'i Kesultanan Deli
4 Mufti & Qadhi Kesultanan Deli
5 Imam & Pengajar Masjid Sri Sultan Ma’moen al-Rasyid Perkasa Alamsyah
6 Pendiri Madrasah Hasaniyah
7 Penasihat Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah
8 Ketua Majelis Fatawa Al Jam’iyatul Washliyah
9 Penasihat Badan Chazanatul Islahijah Al Jam'iyatul Washliyah
10 Penasihat Pengurus Besar Al-Ittihadiyah
11 Ahli Ilmu Ilmu Falak, Hisab, fikiq dan tasawuf
Karya-karya Tulisnya:
1. Kutufatussaniyah : Berbicara Tentang Talaffus dengan niat.
2. Samirussahibyan : Berbicara Tentang Fiqih.
3. Tazkirul Muriddin : Bahagian Tasawuf.
4. Dhararul Bhayan : Menerangkan Tauhid.
5. Fathul wudud : Menyatakan salah keadan niat.
6. Tankihuz zunun : Berbicara masalah maimun.
7. Targhibul mustakim : Berbicara mendirikan Jum’at
8. Isfa’aful Muridin : Berbicara Rabithah.
9. Maqalatun Nafiyah : Berbicara Kabliyah Jum’at.
10. Sarimul Mumayyiz : Berbicara takliq dan Ijtihat.
11. Ittihaful Ikhwan : Berbicara Kaipiyat Yassin, Mumfariyah, Ratib hadad, Doa.
12. Jadwal Buat Mengetahui Waktu.
13. Natiyah Abadiyah : untuk mengetahui awal waktu dan lain-lain.
14. Durrul –Muhazzab : Berbicara Rubu’ Mudyaijab dalam bahasa Arab.
15. Nubzatul- Lukluiyah : Menerangkan Rabithah, dengan bahasa Arab.
16. Sullamus –Salikin : Bacaan wirid
17. Kaifiat dan Salsilah Talkin Zikir : ( Khusus).
Wafat
Kendati telah menjadi ulama terkemuka, Syekh Hasan tidak pernah menghentikan kegiatan akademik, mengajar dan belajar.
Dengan berbagai kesibukan, ia terus mengajar umat Islam secara formal maupun non-formal, terutama di Madrasah Hasaniyah dan Masjid Raya al-Mashun, terutama dalam bidang fikih dengan menggunakan kitab-kitab standar dalam Mazhab Syafi'i. Ia juga tidak pernah puas mendalami ilmu-ilmu agama, meskipun telah menduduki jabatan tertinggi dalam bidang keagamaan, selalu membaca kitab dan mendiskusikan masalah-masalah agama sampai menjelang subuh, dan akhirnya tradisi akademik tersebut membuatnya jatuh sakit selama enam bulan.
Syekh Hasan Ma’shum Deli terus berkhidmah sebagai pengajar sekaligus mufti Kesultanan Deli hingga wafat, di Medan, pada usia kurang lebih 53 tahun,menurut perhitungan tahun masehi, yakni pada hari Kamis, 24 Syawal 1355 H/7 Januari 1937 M,setelah berbulan-bulan menderita penyakit,dan dimakamkan di perkuburan Masjid Raya al-Mashun, tidak jauh dari Istana Kesultanan Deli. Menurut dokter, kebiasaan membaca sampai menjelang subuh membuat urat yang menghubungkan ke otaknya tertutup. Wafatnya Syekh Hasan Ma'shum, bukan saja dirasakan pilu oleh keluarga, murid-muridnya. Begitu juga oleh Al Jamiyyatul Al Washliyah bahkan seluruh ummat Islam di Indonesia dan di luar Indonesia.
Meskipun telah menjadi ulama besar dan menduduki jabatan keagamaan terpenting, Syekh Hasan tetap terus menggali ilmu, menulis banyak karya akademik, serta menjadikan keheningan malam sebagai waktu terbaik untuk menelaah kitab-kitab agama dan menyelesaikan persoalan-persoalan akidah dan hukum Islam. Usia tua, pangkat, dan jabatan tidak membuat Syekh Hasan menjadi lalai mengkaji ilmu dan menulis karya akademik bermutu. Alfatihah
Sumber:
* ^ Rozali 2017, hlm. 279, dengan merujuk kepada Institut Agama Islam Negeri al-Jamiah Sumatra Utara 1975, hlm. 7, dalam Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka di Sumatra Utara (Medan: Islamyah, 1975)
* Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2010) ; dikutip dalam Ja'far 2015, hlm. 273 .
* Biografi Intelektual Ulama-Ulama Al Washliyah (Medan: Centre for Al Washliyah Studies, 2012)
Kisah Sejarah Hidup Tuan Syekh Mukhtar Muda Nasution
Sejarah Hidup Tuan Syekh Mukhtar Muda Nasution
Nama Lengkapnya Marahadam Nasution gelar Haji Mukhtar Muda Nasution bin Haji Muhammad Ludin Nasution bin Lobe Marusin bin Ja Manorsa bin Amal bin Ja Gading. Nama terakhir ini adalah leluhurnya yang pindah ke Kecamatan Barumun yang berasal dari daerah Panyabungan Mandailing. Haji Mukhtar Muda Nasution yang akrab dipanggil Tuan Mukhtar atau Syekh Mukhtar Muda, lahir di Wek II Gelanggang, Pasar Sibuhuan, Kecamatan Barumun, Tapanuli Selatan (saat ini menjadi Kabupaten Padang Lawas, hasil pemekaran wilayah) pada hari Ahad tanggal 9 Januari 1921 bersamaan dengan tanggal 22 Ramadan 1340 Hijrah, pada jam 15.00 Wib sore hari. Wafat di Sibuhuan pada hari Sabtu, tanggal 31 Oktober 2009 M/12 Zulkaedah 1430 H, pada Jam 08.45 Wib, tutup usia 90 tahun.
Beliau berperawakan tinggi, berkulit putih, pakaian yang selalu digunakan ketika keluar rumah, memakai kain sarung, baju jas berwarna gelap kemeja putih sebelah dalam, pakai serban yang dililitkan di kepala, memakai selop kulit atau sepatu. Apabila berjalan di jalan raya dalam keadaan berjalan kaki melihat fokus ke depan, demikian juga jika berkenderaan menyetir sendiri dengan kecepatan sedang. Style pakaian yang semacam itu tidak pernah berubah meskipun beliau diundang menghadiri acara-acara resmi oleh pejabat negara sampai ke istana Presiden.
Beliau menikah dengan seorang gadis cantik dua tahun lebih muda dari beliau, bernama Maimunah Hasibuan bin Haji Abdul Malik Hasibuan, berasal dari Wek I, Pasar Sibuhuan pada tanggal 10 Zulkaedah 1360 H/29 Nopember 1941 M. Dari hasil perkawinan itu dikaruniai 7 (tujuh) orang anak yaitu 2 (dua) orang putra dan 5 (lima) orang putri. Mereka adalah :
1. Hj. Amnah Alwiyah Nasution, pensiunan Guru Agama, wafat tahun 2004
2. H. A. Hilaluddin Nasution, pegawai Inspektorat Departemen Agama RI Jakarta, wafat tahun 1995
3. Anisah Raihani Nasution, wafat semasa bayi umur dua tahun
4. Fauziyah Hanum Nasution, wafat pada usia baya umur 21 tahun
5. M. Fakhri Al-Hamidi Nasution, seorang pedang di Sibuhuan
6. Faizah Marhamah Nasution, wafat pada usia 15 tahun
7. Zakiyah Khairati Nasution, seorang ibu rumah tangga, isteri dari seorang Hakim Tinggi Agama, tinggal di Jakarta.
II. Pendidikan Beliau.
a. Pendidikan Dalam Negeri.
1. Sekolah Gubernemen (SD) di Sibuhuan tamat tahun 1934
2. Ibtidaiyah di Maktab Syariful Majelis di Sibuhuan tingkat Ibtidaiyah tahun 1931 s/d 1935
3. Ibtidaiyah lanjutan di Madrasah Maslurah Tanjung Pura, Langkat, tamat tahun 1936
4. Tsanawiyah di Madrasah Aziziyah, Tanjung Pura, Langkat, 1937 s/d 1938.
5. Sarjana Muda (BA) di UNUSU Padangsidimpuan tamat tahun 1970
b. Pendidikan Luar Negeri.
1. Belajar di Masjidil Haram, Makkah, dari tahun 1939 s/d 1941.
III. Guru-Guru Beliau.
Sebagai seorang ulama besar dan kharismatik, Syekh Mukhtar Muda memiliki banyak guru baik di dalam maupun luar negeri, sehingga tumbuh kemapanan berfikir dan beraktifitas yang didasari atas alur paham keagamaan yang dia terima dari guru-gurunya. Sejauh pengamatan yang ada semua guru-guru beliau berpahamkan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Hal ini dibuktikan dari kukuhnya beliau dalam memahami, mendalami dan mengamalkan paham keagaman ini. Guru-guru yang membentuk pemikirannya yang berada di kampung halamannya Sibuhuan di antaranya Syekh Muhammad Dahlan Hasibuan, Pendiri Pondok Pesantren Aek Hayuara Sibuhuan, pesantren tertua di daerah Padang Lawas. Lobe Baharudin Lubis, Lobe Harun Hasibuan dan Syahmadan asal Kotapinang.
Guru-gurunya yang berada di Tanjung Pura diantaranya Syekh Abdullah Afifuddin, ulama besar Langkat dan beberapa kali menjabat Rais Syuriyah PW Nahdlatul Ulama Sumatera Utara tahun 50 s/d 60-an. Kemudian, Syekh Abdurrahim Abdullah, Syekh Abdul Hamid Zaid, Tuan Hasyim, H.M. Salim Fakih, Khayat Abdurrahman, M. Said Johor (Guru Oboh), M. Jamil Imam, Ahmad Jauhari dan Ruknuddin.
Sedangkan Guru-Guru beliau yang berada di Makkah al-Mukarramah di antarnya, Sayid Alawi al-Maliki, ulama besar Makkah, Sayid Amin al-Kutby, Syekh Umar Hamdan al-Makhrosy al-Madany, Syekh Sa’id al-Yamany, Syekh Ibrahim Fathony, Syekh Muhammad Araby al-Maghriby, Syekh Hasan al-Masysyath, Syekh Muhammad Ali al-Maliky, Syekh Abdur Kadir al-Mandily, Syekh Abdul Fattah Rawa, Syekh Syarnuby al-Palimbany dan Syekh Umar Arba’in.
Semua guru yang disebutkan di atas adalah guru-guru yang mengajar di Masjidil Haram, beraliran Sunni dan menguasai berbagai macam ilmu-ilmu ke-Islaman.
V. Kiprahnya
Sebagai seorang ulama sudah pasti banyak sekali yang sudah dilakukannya dalam usia yang cukup panjang selama kurun waktu 90 tahun. Meskipun beliau tinggal di desa, sebagai anak desa, namun pengabdiannya tidak terbatas dalam ruang lingkup desa, melainkan dari desa sampai ke tingkat nasional. Keulamaannya pun tergolong sebagai ulama tercatat di tingkat pusat. Dalam kaitan ini dapat dilihat bagaimana pengabdiannya dan kiprah sebagai ulama sepuh berkaliber nasional sebagai berikut ini.
a. Pengabdianya di bidang Pendidikan.
Setelah beliau kembali dari Makkah al-Mukarramah dan menetap di Sibuhuan, beliau terjun mengajar meskipun usianya pada saat itu tergolong muda. Akan tetapi karena ilmunya yang sudah mumpuni, maka mulailah mengajar pertamakalinya di sekolah Madrasah Jam’iyatul Muta’allimin di Sibuhuan dari tahun 1942 s/d 1946. Kemudian mengajar di Madrasah Tsanawiyah NU di Sibuhuan tahun 1947 s/d 1955. Mengajar di PGA NU dari tahun 1954 s/d 1980. Mengjar di KPU ”A” Sibuhuan 1953 s/d 1954. Kepala Sekolah Madrasah Aliyah di Sibuhuan tahun 1955 s/d 1990. Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah Yayasan Pendidikan Islam (YAPI) di Sibuhuan tahun 197 s/d 1990. Pimpinan Pondok Pesantren Aek Hayuara di Sibuhuan tahun 1975 s/d 1989. Pimpinan Pondok Pesantern Al-Mukhlisin di Sibuhuan tahun 1990 s/d 2008. Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukhtariyah di Sibuhuan tahun 1997 s/d wafatnya tahun 2009.
Dari data-data di atas menunjukkan bahwa beliau telah membangun dan memimpin satu madrasah dan tiga pondok pesantern. Madrasah yang disebutkan di awal saat ini tidak lagi terihat keberadaannya karena digantikan oleh madrasah Ibtidaiyah sawasta NU, akan tetapi ketiga pesantren yang disebutkan terakhir yaitu Ponpes Aek Hayuara masih bejalan dengan santri di atas seribuan, Ponpes Al-Mukhlisin sekitar delapan ratusan dan Ponpes Al-Mukhtariyah sekitar tiga ratusan santri.
Selain kiprah dan pengabdian beliau sebagai guru dan pimpinan pesantren, juga beliau dipercayakan sebagai Dosen di Fakultas Syariah Universitas Nahdlatul Ulama (UNUSU) di Padangsidimpuan tahun 1962 s/d 1966. Namun perguruna tinggi tersebut tidak terlihat lagi keberadaannya sekarang, bisa saja kemungkina telah berganti nama atau pindah tangan.
b. Pengabdian di bidang Dakwah.
Sebagai ulama yang banyak mengajar di berbagai sekolah, madrasah, ponpes dan pengajian, beliau juga aktif berdakwah ke desa-desa utamanya pada peringatan Hari Besar Islam. Beliau tangkas berceramah dengan gaya seorang orator kawakan, dengan penampilan pakaian seorang ulama besar, namum model ceramahnya lebih kepada penguatan akhlak dengan serius dan sedikit guyon. Bilau sangat perduli dan memperhatikan benar apa yang terjadi di masyarakat, termasuk degradasi moral yang sedang terjadi di kalangan masyarakat terutama kaula muda. Semua krisis moral yang terjadi dikupas tuntas dan dikiritis habis oleh beliau. Sehingga dengan ketegasannya berkata dan berbuat, maka aparat pemerintah, ormas pemuda dan lapisan masyarakat lainnya bersatu padu memberantas kemaksiatan di daerah Sibuhuan sekitarnya, semua dapat dikomandoi oleh Syekh Mukhtar Muda dalam memberantas penyakit masyarakat tersebut.
Model dakwah yang dilakukan ulama yang satu ini hanya bebentuk dakwah oral, ceramah menggunakan lisan, tidak dijumpai dalam bentuk tulisan semisal tulisan di media massa atau lewat buku-buku karangannya. Tidak dijumpai buku karangnya yang dapat dibaca terkait dengan dakwah beliau. Namun demikian, selain dakwah oral, juga beliau menampilkan dakwah bil hal (ketauladanan). Contoh ketauladanan yang dicontohkan oleh beliau diantaranya ialah model berpakaian haji. Konsistensi berpakaian sebagaimana diuraikan di atas menjadi model berpakaian haji di daerah Sibuhuan. Jika sesorang telah melaksanakan ibadah haji, biasanya memakai sarung, mengenakan baju jas sebelah dalamnya memakai kemeja putih, kemudian memakai serban yang dililitkan di kepala dengan memakai ekor. Model pakaian haji semacam ini telah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Sibuhuan dan Padang Lawas pada umumnya.
Dakwah oral sebagaimana disebutkan di atas, beliau sampaikan lewat khuthbah Jum’at di Masjid Raya Sibuhuan, sejak tahun 1970 s/d tahun 1990. Beliau berkhuthbah dengan memakai teks dan membuat tambahan uraiannya sehingga menarik buat jama’ah. Topik khuthbah biasnaya disesuikan dengan perkembangan sistuasi dan kondisi yang sedang dihadapi umat. Sehingga kelihatannya, khuthbah yang disampaikna mengandung jawaban persolan dan solusi masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat dan umat.
Namun dalam rangka kaderisasi da’i dan muballigh, tokoh ini tidak melakukan upaya-upaya pelatihan dan praktek-praktek dakwah, sehingga tidak banyak muridnya yang jadi da’i atau muballigh terlatih. Kalaupun ada hanya karena kesungguhan murid menggali potensi dan bakatnya sendiri.
c. Kiprahnya di bidang Pemerintahan dan Politik.
Kiprak Syekh Mukhtar Muda di bidang pemerintahan, tercatat sebagai Anggota Dewan Negeri Janjilobi, Kecamatan Barumun. Semacam anggota perwakilan masyaakat di kedewanan Janjilobi tahun 1946 s/d 1955. Anggota Pengurus Masyumi Anak Cabang Kecamatan Barumun, tahun 1945 s/d 1951. Dalam partai politik, beliau sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Cabang Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 1973 s/d 1982.
Dalam catatan sejarah hidupnya, beliau pernah calon legislatif dari Partai Persatuan Pembangunan, namun tidak cukup suara sehingga tidak masuk sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tapanuli Selatan. Kiprah politiknya terlihat jelas ketika akan Pemilu, beliau ambil bagian secara langsung mendukung dan memenangkan partai PPP, meskipun beliau tidak calon jadi. Kecenderungannya memilih PPP karena partai yang satu ini berasaskan Islam dan berlambang Ka’bah.
d. Kiprahnya di bidang Ormas Islam.
Sebagai ulama yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah, beliau memilih organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sebagai wadahnya berkiprah. Pada awal mula pendirian Nahdlatul Ulama di Sumatera Utara, beliau sudah mulai berperan meskipun pada waktu itu masih usia relatif muda.
Posisi Syekh Mukhtar Muda dalam kepengurusan NU sejak dari berdirinya sampai menjelang wafatnya adalah Ketua Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Kecamatan Barumun tahun 1948 s/d 1952. Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Kecamatan Barumun tahun 1953 s/d 1977. Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Tapanuli Selatan tahun 1965 s/d 2009. Wakil Rais Syuriyah Pengurus Cabang NU Tapanuli Selatan tahun 1978 s/d 1984. Ketua Pengurus Wilayah NU Sumatera Utara tahun 1981 s/d 1985. Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Sumatera Utara tahun 1985 s/d 2008. Rais Syuriyah PW NU Sumatera Utara tahun 1986 s/d 2002. Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tahun 1999 s/d 2009.
Sebagai seorang tokoh dan ulama NU, beliau banyak mengikuti berbagai kegiatan NU baik di daerah maupun di tingkat pusat. Diantaranya, mengikuti Muktamar NU di Jakarta tahun 1950. Mengikuti Muktamar NU ke-26 di Semarang sebagai utusan PC NU Tapanuli Selatan tahun 1979. Mengikuti Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konprensi Besar NU sebagai utusan PW NU Sumatera Utara di Yogyakarta tahun 1981. Utusan LP Ma’arif NU Sumatera Utara pada Musyawarah Nasional PP LP Ma’arif Pusat di Jakarta tahun 1983. Utusan PW NU Sumatera Utara menghadiri Muktamar NU ke-27 di Situbondo Jawa Timur tahun 1984. Utusan PW NU Sumatera Utara pada Munas/Konbes NU di Kesugihan Cilacap Jawa Tengan tahun 1987. Utusan PW NU Sumatera Utara mengikuti muktamar NU ke-28 di Yogyakarta tahun 1989. Utusan PW NU Sumatera Utara mengikuti Munas/Konbes NU di Bandar Lampung tahun 1992. Utusan PW NU Sumatera Utara mengikuti muktamar NU ke-29 di Tasikmalaya Jawa Barat tahun 1994. Utusan PW NU Sumatera Utara mengikuti Munas/Konbes NU di Ciawi Jawa Barat tahun 1995. Utusan Rabithah Ma’ahid Islamiyah NU Sumatera Utara mengikuti Musyawarah Kerja Nasional ke V di Ponpes Hasan Ginggo, Jawa Timur, tahun 1996. Utusa PW NU SumateraUtara mengikuti Munas/Konbes NU di Ponpes Qomarul Huda tahun 1997. Utusan Rabithah Ma’ahid Islamiyah pada Munas RMI di Jaarta 1999. Utusan PW NU Sumatera Utara mengikuti Muktamar NU ke-30 di Liboyo Jawa Timur tahun 1999.
Sepanjang sejarah hidupnya Syekh Mukhtar Muda mengikuti Muktakar NUsebanya enam kali, mengikuti Munas/Konbes Nu sebanyak lima kali, sedangkan mengikuti Munas Rabithah Ma’ahid Islamiyah NU dan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Pusat sebanyak tiga kali. Selain yang disebutkan di atas, beliau pernah juga diundang oleh presiden Abdurrahman Wahid dalam rangka memberi saran atas kepemimpinan Gusdur pada saat menjabat sebagai Presiden RI.
e. Pengalaman Melaksanakan Ibadah Haji.
Cukup sering Syekh Mukhtar Muda menunaikan ibadah haji, di antaranya ialah pertama kali menunaikan ibadah haji sambil belajar di Makkah sebanyak tiga kali tahun 1939/1941. Naik Haji dengan cara tour umroh dengan keluarga tahun 1978. Menunaikan Ibadah Haji sebagai petugas TPIHI tahun 1989. Menunaikan ibadah haji atas bantuan Raja Inal Siregar tahun 1993. Menunaikan Ibadah Haji sebagai petugas TPIHI tahun 1995.
Dalam catatan menunaikan ibadah haji, beliau dapat kesempatan sebanyak tujuh kali, ditambah pelaksanaan ibadah umrah yang tidak tercatat berapa kali jumlahnya. Hanya dapat diprediksi tentulah berulangkali dilakukan oleh beliau, terutama ketika beliau bermukim di Makkah. Dalam penilaia beliau ketika mengomentri perjalann haji terakhirnya dikatannya bahwa pelaksanaan ibadah haji pasilitasnya dewasa ini semakin hebat dan membuat semuanya mudah, akan tetapi nilai napatilas historis dan kesyahduan ibadahnya terasa semakin kurang. Hal ini dialami beliau dan diperbandingkannya dari awal mula menunaikan ibadah haji yang perama tahun 1939 dengan tahun terakhirnya tahun 1993.
VI. Corak Keilmuan Syekh Mukhtar Muda.
Sebagai seorang ulama besar dan bergelimang dalam bidang keilmuan agama selama lima dekade lebih, banyak ilmu yang dipelajarinya dan banyak pula ilmu yang diajarakannya. Beliau mempelajari berbagai macam ilmu agama diantaranya bahasa arab, tauhid, fiqih, akhlak, tasawuf, sejarah Islam (tarekh), sastra arab (balaghoh, bayan, badi’), manthiq (logika), dan qiraat Alquran. Ilmu ini dipelajarinya selama berada di Makkah al-Mukarramah dari berbagai ulama yang ada di sana. Sehingga dapat dikatakan beliau menguasai banyak ilmu. Kesemua bidang ilmu yang disebutkan di atas, memang dikuasainya dan memiliki kitab-kitab tersebut misalnya, bahasa dipakainya kitab Kawakib al-Durriyah dan Hudhry, fiqih digunakannya kitab Fath al-Qarib dan I’anah al-Thalibin, tauhid digunakannya kitab Kifayah al-Akhyar dan al-Dusuqi, tasawuf, digunakannya kitab Minhaj al-Thalibin dan Durrah al-Nashihin, dan sejarah Islam, digunakannya kitab Nur al-Yaqin.
Dari banyaknya ilmu yang dipelajarinya dan semua ilmu tersebut diajarkannya di kelas atau di halaqah pengajian di masjid dan di rumah beliau, dapat dikatakan tidak terlihat jelas spesialisasi ilmu beliau, namun sebagaimana di katakan oleh Haji Ahmad Fauzan Nasution, SQ, S.H.I , kecenderungan keahlian beliau pada fiqih dan qiraat Alquran. Hal ini terbukti dari banyaknya beliau membicarakan masalah-masalah hukum mengenai persoalan umat dan masyarakat. Dalam mendekati persoalan beliau lebih kepada pendekatan hukum ketimbang pendekatan lain, meskipun pendekatan moral dan akhlak tetap menjadi perhatian beliau. Sebagai contoh, apabila ada orang membawa persoalan menyangkut dengan pertikaian keluarga misalnya, beliau menjelaskan terlebih dahulu apa pendapat fiqihnya baru kemudian masalah akhlak dan moralnya. Namun fiqih yang lebih dikuasainya dan memboboti pemikirannya ialah fiqih Syafi’i, fiqih mazhab lain hanya sebatas perbandingan saja.
Penguasaanya di bidang qiraat juga sangat memadai, khususnya qiraat sab’ah (qiraat tujuh). Namun ilmu yang satu ini tidak dikembangkannya sehingga menjadi milik umat. Hanya saja menjelang usia tuanya sekitar tahun 1978/1979 beliau sempat mengajarkannya, sekaligus beliau ditunjuk salah seorang tenaga LPTQ Sumatera Utara di bidang qiraat. Namun keberadaannya di lembaga tersebut tidak berlangsung lama karena ada sesuatu yang dipandangnya tidak baik. Alasan tarik dirinya beliau karena pada suatu saat ketika MTQ selesai ada kain sarung yang dihadiahkan oleh pemerintah kepada dewan hakim, namun ditukar oleh orang tertentu dengan kualitas yang lebih rendah, maka beliau tidak setuju dengan tindakan tersebut, beliau katakan, kalau dalam kepanitiaan Alquran saja terjadi hal seperti itu, kemana lagi kita akan mencari kebenaran. Sikap tegas beliau membuatnya menarik diri dari lembaga tersebut.
VII. Hasil Karyanya
a. Karya Monumental
Sebagai seorang ulama yang bergerak di bidang pendidikan, Syekh Mukhtar Muda berhasil membangun 3 (tiga) ponpes terbesar di wilayah Padang Lawas yang berlokasi di Sibuhuan.
(1). Pesantren Aek Hayuara yang kemudian bernama Ponpes Syekh Muhammad Dahlan, diambil dari nama pendidrinya yaitu Haji Muhammad Dahlan Hasibuan. Ponpes ini berlokasi di Wek IV, Sibuhuan. Meskipun bukan beliau sebagai peletak dasar pesantern ini, namun pengembangannya ditangan beliau, sehingga berkembang pesat dan mengahasilkan lulusan yang banyak sekali.
Ponpes ini menghasilkan lulusan Aliyah dan Pendidikan Guru Agama (PGA). Namun setelah tahun 80-an ponpes ini fokus menangani pendidikan Tsanawiyah dan Aliyah saja, sedangkan PGA ditutup sejalan dengan perkembangan kebijakan pemerintah. Beliau mengakhiri masa baktinya di ponpes ini pada akhir tahun 80-an karena adanya dismanajemen dalam kepengurusan Ponpes sehingga beliau memutuskan berhenti dan mebangun pesantren baru yaitu Ponpes Al-Mukhlisin di Wek II, Sibuhuan.
(2). Popes Al-Mukhlisin, dibangun beliau pada awal 90-an dengan membentuk sebuah yayasan atas nama masyarakat. Ponpes ini berkembangan dengan mengasuh madrasah Tsanawiyah dan madrasah Aliyah. Namun pada akhir tahun 90-an, atas usul dari keluarga, maka beliau menyerahkan manajemen ponpes ini kepada masyarakat dan kemudian beliau membangun ponpes baru lagi yang diberi nama ponpes Al-Mukhtariyah di daerah Sibuhuan Julu-Sialambue, nama popes ini diambil dari nama beliau dengan membentuk yayasan pengelolanya yang diberi nama Yayasan Syekh Mukhtar Muda. Ponpes ini pun berkembang dan mengasuh pendidikan Tsanawiyah dan Aliyah. Bahkan belakangan mengasuh pendidikan tinggi. Dengan demikian maka dapat dikatakan, beliau adalah ulama yang berhasil membuat daerah Barumun menjadi daerah pendidikan dan kaya denan pesantren dan masyarakatnya yang religius atau yang sering didengar dengan sebutan serambi Makkah. Selain yang disebutkan di atas, beliau juga berhasil merehab masjid Raya Sibuhuan menjadi masjid terbesar dan termegah di kota Sibuhuan sebagaimana dapat disaksikan sekarang. Masjid tersebut dapat menampung jama’ah tidak kurang dari sepuluh ribu jama’ah.
b. Karya Tulisnya.
Meskipun beliau mendalami banyak disiplin ilmu ke-Islaman, banyak mengajar dan banyak murid, namun dalam transpormasi ilmu dilakukannya lewat bahasa lisan atau oral sistem. Tidak ada karya tulis beliau yang tercetak sebagai buku standard atau yang diterbitkan. Memang demikianlah kebanyakan ulama semasanya yang bergerak di bidang pendidikan. Jarang sekali mereka yang menulis dan menghasilkan karya tulis. Syekh Mukhtar Muda, ada menulis sebuah karya tulis dalam bentuk konsep yaitu Sejarah Nahdlatul Ulama Di Sumatera Utara, namun tidak sempat dibukukan. Hanya saja konsep tersebut bisa disempurnakan sehingga menjadi sebuah buku yang layah di baca.
c. Karya Ciptanya.
Dalam bidang karya cipta, Syekh Mukhtar Muda semasa hidupnya berhasil membentuk dan mengembangkan group seni yang bernama Jam’iyatul Qurro, semacam group seni rebana dan memang menggunakan rebana, dan alat nasyid lainnya, dimainkan oleh biduan yang diantaranya adalah qori. Group seni Islami ini melantunkan lagu-lagu yang bernafaskan dan berjiwakan Islam, berbentuk semi orkes dan semi nasyid. Group tersebut diundang orang pada hajatan walimatul urs dan perayan hari-hari besan Islam. Namun setelah berkembangnya seni kyboard, maka group inipun kelihatannya kurang dapat pasaran.
Selain yang disebutkan di atas, Tuan Mukhtar ini berhasil menciptakan sebuah lagu Mars Nahdlatul Ulama Sumatera Utara. Akan tetapi masr ini belum dialansir dengan baik, sehingga belum berkembang dan belum sepenuhnya digunakan dalam acara-acara resmi NU.
VIII. Penghargaan.
Kiprah dan pengabdian ulama sekaliber Syekh Muhktar Muda Nasution terpatri di hati para muridnya termasuk di hati para pejabat pemerintah. Terkait dengan hal tersebut, Gubernur Raja Inal Siregar menganugerahkan kepadanya sebuah penghargaan sebagai ”Pembina Pendidik Terbaik Sumatera Utara” pada tahun 1992.
Sebagai ulama senior atau dalam tradisi Jaw disebut Kiyai Sepuh, beliau sering diundang oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ke Jakarta untuk dimintai pendapatnya diseputar persoalan hukum dalam rangka istinbath hukum (fiqih) dalam berbagai forum ulama tingkat nasional, khususnya dalam forum-forum bahtsul masail yang diselenggarakan oleh jam’iyah Nahdlatul Ulama. Pada penutupan Muktamar NU ke-30 di Ponpes Lirboyo, Keidri, Jawa Timur, oleh Presiden Abdrurrahman Wahid meminta beliau memipin do’a penutupan muktamar, pada hal banyak sekali kiyai yang mumpuni untuk itu, namun karena kharismatiknya, semua kiyai yang hadir memilih beliau memimpin do’a pada acara yang penting dan bersejarah tersebut.
IX. Krakter Keulamaan dan Kekharismaannya.
Krakter keulamaan Syekh Mukhtar Muda tercermin dalam kesederhanaan beliau, hal ini tergambar dari tampilan berpakaian, sikap dan perilaku beliau sehari-hari. Jika diperhatikan dari sudut rumah tempat tinggal yang dihuni sehari-hari, sangatlah sederhananya. Rumah papan panggung, atap seng dan kamar mandi di sebelah luar. Rumah yang kelihatannya kurang layak untuk ditempati seorang ulama besar seperti beliau. Namun dimengerti oleh karena kemungkinan begitulah cara hidup beliau. Sifat ke-wara’-an itulah nampaknya membuat beliau hidup sederhana, padahal bisa diduga belaiau punya kemampuan untuk membangun rumah yang lebih bagus dan lebih layak, tapi bukan pilihan beliau.
Sikaf kewara’an yang melekat di hati beliau tergambar dari kehati-hatian beliau tehadap hal-hal yang samar (syubhat), pada suatu hari ketika isteri beliau akan panen padi di sawah, karena sibuk, ingin mengajak santri turut membantu panen di sawah. Ketika maksud isterinya diketahui oleh beliau, lantas beliau melarang isterinya mengajak santri, lalu berkata “Kalau kamu bertani bisanya karena mengajak santri, maka berhenti sajalah bertani. Santri itu datang kesini untuk belajar bukan untuk bertani”. Sikap seperti ini, menggambarkan kehati-hatian beliau terhadap dosa dan kesalahan dalam berbuat jangan sampai ada kesalahan yang disengaja.
Kharisma beliau tergambar dari sikap hormat masyarakat terhadap diriya, sebagai contoh, jika beliau melintas di suatu tempat, tidak akan melihat kesamping kanan atau kiri, hanya terpokus pandangannya ke depan. Kecuali ada orang yang menyapa beliau. Ibu-ibu yang berada ditempat dimana beliau lewat dalam keadaan pakaiannya tidak menutup aurat, lari terus masuk rumah dan memakai kerudungnya dan pakaian islaminya. Demikian juga para pemuda yang mangkal di persimpangan jalan, dalam bahasa di Sibuhuan “Parsimpang opat”, terdiam dan memberi hormat kepada beliau. Disinilah letak kewibawaan dan kharismatiknya ulama ini.
Banyak hal yang dapat diungkap sebenarnya disekitar sirah perjalanan hidup Syekh Mukhtar Muda, namun karena keterbatasan informasi dan waktu yang tersedia, maka inilah sekelumit yang dapat disuguhkan ke khalayak pembaca. Tulisan ini merupakan tanda terimakasih murid kepada guru atas ilmu dan bimbingannya di masa yang lalu, semoga ada manfaatnya. Amin. Alfatihah
Sumber :
Ponpes Al Mukhlisin Sibuhuan
20 Desember, 2019
KESULTANAN MURAD ( SULTAN TURKI UTSMANI ) MENEMUKAN MAYAT SEORANG WALI ALLAH YANG SEMASA HIDUPNYA GEMAR MEMBELI MINUMAN KERAS (ARAK) DAN GEMAR MENDATANGI PELACUR
KESULTANAN MURAD ( SULTAN TURKI UTSMANI ) MENEMUKAN MAYAT SEORANG WALI ALLAH YANG SEMASA HIDUPNYA GEMAR MEMBELI MINUMAN KERAS (ARAK) DAN GEMAR MENDATANGI PELACUR.
[ Mohon di baca sampai selesai ]
Al-kisahnya....
Di dalam buku harian
Sultan Turki Murad IV mengisahkan, bahawa suatu malam dia merasa sangat resah,
dan rasa ingin tahu apa penyebabnya.
Maka beliau memanggil ketua pengawalnya dan memberitahu
apa yang dirasakannya.
Sultan berkata kepada ketua pengawal,
_"Mari kita keluar sejenak."
Di antara kebiasaan Sultan adalah melakukan rondaan
di malam hari dengan cara menyamar.
Mereka pun pergi,
hingga tibalah mereka
di sebuah lorong yang sempit.
Tiba-tiba,
mereka menemukan seorang
laki-laki tertiarap di atas tanah.
Sultan menggerak-gerakkan lelaki itu,
ternyata dia telah meninggal.
Namun orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya tidak sedikitpun mempedulikannya.
Sultan pun memanggil mereka,
namun mereka tak menyedari
orang tersebut adalah Sultan.
Mereka bertanya,
_"Apa yang kamu mahu?_
Sultan menjawab,
_"Mengapa orang ini meninggal dunia, tapi tidak ada seorang pun di antara kamu yang mahu mengangkat jenazahnya?_
_Siapa dia?_
_Di mana keluarganya?"_
Mereka berkata,
_"Orang ini Zindiq,
suka menangguk minuman keras dan berzina.!"_
Sultan menegur,
_"Tapi . .
bukankah dia termasuk umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam?_
_mari angkat jenazahnya,
kita bawa ke rumahnya"_
Mereka pun membawa jenazah lelaki itu ke rumahnya.
Melihat suaminya yang telah meninggal dunia, si isteri pun menangis.
Orang-orang yang membawa jenazahnya terus berlalu pergi, tinggallah Sultan
dan ketua pengawalnya.
Dalam tangisnya si isteri berkata-kata kepada jenazah suaminya,
_"Semoga Allah merahmatimu wahai wali Allah..._
_Aku bersaksi bahwa
engkau termasuk orang
yang sholeh."_
Mendengar ucapan itu Sultan Murad terkejut..
_"Bagaimana mungkin dia seorang wali Allah sedangkan orang ramai mengatakan
tentang dia begini dan begitu,
hinggakan mereka tidak peduli dengan kematiannya.?"_
Si isteri menjawab,
_"Sudah ku duga pasti akan begini..."_
_"Setiap malam suamiku
keluar rumah pergi ke kedai-kedai minuman keras, membeli minuman keras dari para penjual sejauh yang ia mampu._
_Kemudian minuman-minuman
itu di bawa ke rumah
lalu ditumpahkannya
ke dalam lubang jamban,
sambil berkata: "Aku telah meringankan dosa kaum muslimin."_
_"Dia juga selalu pergi menemui pelacur, memberi mereka duit dan berkata: "Malam ini kamu sudah dalam bayaran ku,
jadi tutup pintu rumah mu sampai pagi."_
_"Kemudian dia pulang ke rumah,
dan berkata kepadaku: "Alhamdulillah,
malam ini aku telah meringankan dosa para pelacur itu
dan pemuda-pemuda Islam."_
_"Orang ramai hanya menyaksikan bahawa dia selalu membeli khamar dan menemui pelacur, lalu mereka menuduhnya
dengan berbagai tuduhan
dan menjadikannya buah mulut."_
Suatu ketika aku pernah berkata kepada suamiku,
_"Kalau kamu mati nanti,
tidak akan ada kaum muslimin yang mahu memandikan jenazahmu, menyembahyangkanmu dan menguburkan jenazahmu"_
Dia hanya tertawa,
dan berkata,
_"Jangan takut,
bila aku mati,
aku akan disembahyangkan
oleh Sultan kaum muslimin, para Ulama dan para Wali."_
Mendengarkan itu,
Sultan Murad pun menangis,
dan berkata,
_"Benar!
Demi Allah, akulah Sultan Murad,
dan besok pagi kita akan memandikannya,
menyembahyangkannya
dan menguburkannya."_
Demikianlah,
akhirnya proses pengurusan jenazah laki-laki itu dihadiri
oleh Sultan, para Ulama, para Wali Allah dan seluruh masyarakat.
*******
(Kisah ini diceritakan kembali oleh Syaikh Al Musnid Hamid Akram Al Bukhary dari _Mudzakkiraat Sultan Murad IV_)
WALLAHU A'LAM.....
Kisah Karomah Al Habib Hasan Bin Ja'far Assegaf
Kisah Karomah Al Habib Hasan Bin Ja'far Assegaf
Habib Umar bin Hafidz dari Tarim, Hadhramaut, setelah meminta pertimbangan kepada Al-Alamah Habib Anis Al-Habsyi, mengubah nama majelis ta’lim itu menjadi “Nurul Muthofa”.
Habib Hasan adalah anak sulung Habib Ja’far Assegaf yang lahir di Bogor pada 26 Februari 1977. Ia mendapat pendidikan awal dari ayahnya, kemudian meneruskan ke Pesantren Darul Hadits dan Darut Tauhid di Malang selama tiga tahun. Setelah itu ia juga sempat mengambil kuliah di IAIN Sunan Ampel, Malang.
Tahun 1998, Habib Hasan membuka sekaligus memimpin Majelis Ta’lim Al-Irfan. Pengajian digelar di kediamannya, di Bogor, tepat di belakang rumah Habib Kramat Empang, Bogor.
Pada suatu malam, setelah shalat Istikharah dan sebelumnya melakukan ziarah ke makam kakeknya, Habib Abdullah bin Muhsin Alattas, di Bogor, Habib Hasan bermimpi. “Ana bermimpi bertemu Habib Kuncung (Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad). Dalam mimpi itu Habib Kuncung berkata agar ana berdakwah di Jakarta,” tutur Habib Hasan.
Menyadari bahwa saran itu datang dari habib kharismatis yang sudah tiada, Habib Hasan pun memulai dakwahnya di Jakarta.
Cahaya Manusia Pilihan
Awalnya dia berkeliling dari rumah ke rumah murid-muridnya.
Enam bulan kemudian, seorang jama’ah datang kepadanya dengan membawa seorang pria berumur separuh baya. Pria itu minta agar Habib Hasan bersedia mengobati kakinya.
“Ketika itu ana bingung, karena ana belum pernah menangani hal demikian,” kenangnya. Namun, karena tidak ingin mengecewakan tamunya, Habib Hasan kemudian mengambil sebotol air putih dan membacakan Ratib Alattas. Botol itu kemudian diserahkan kepada si sakit dengan pesan agar diminum setibanya di rumah.
“Dua hari kemudian orang itu kembali kemari dalam keadaan sembuh,” ujar Habib Hasan.
Entah bagaimana, rupanya peristiwa itu menyebar sehingga nama Habib Hasan dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural. Namun yang jelas, sejak itu, jama’ahnya pun bertambah secara signifikan, menjadi seratus orang.
Awal 1999, Habib Umar bin Hud Cipayung wafat. Habib Umar adalah teman kakek Habib Hasan. Untuk menghormati teman kakeknya itu, Habib Hasan mencium kening almarhum dan berdoa, “Ya Allah, jadikan aku seperti almarhum dalam hal ilmu dan amal.”
Satu bulan kemudian, jama’ah bertambah lagi, menjadi empat ratus orang.
Karena pertambahan jama’ah yang cukup besar itu, pada akhir tahun 1999, atas saran H. Jamalih bin H. Piun, sesepuh setempat, ia memindahkan tempat ta’lim ke Masjid Al-Ahyar di Kampung Kandang.
Ketika saran itu dilaksanakan, yang hadir ada sekitar lima ratus orang.
Selanjutnya, jalan lebar seperti terbuka dengan sendirinya. Masjid-masjid sekitar Cilandak membuka pintunya lebar-lebar untuk menampung acara majelis ta’lim Al-Irfan.
Tahun 2000, jama’ahnya bertambah lagi menjadi sekitar delapan ratus orang, yang berdatangan dari seluruh penjuru Jakarta.
Melihat hal itu, Habib Umar bin Hafidz dari Tarim, Hadhramaut, setelah meminta pertimbangan kepada Al-Alamah Habib Anis Al-Habsyi, mengubah nama majelis ta’lim itu menjadi “Nurul Muthofa”, yang maknanya “Cahaya Manusia Pilihan”.
Dua tahun kemudian, 2002, syiar majelis ta’lim Nurul Musthofa kian meluas. Mulai dari Warung Buncit, Mampang Prapatan, Kuningan, Kalibata, hingga Kreo. Jumlah jama’ahnya pun bertambah, menjadi sekitar dua ribu orang.
Tahun 2003, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikunjungi ulama-ulama besar, seperti Habib Abdul Qadir Al-Masyhur dari Makkah, Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dan putranya, Habib Muhammad, dari Madinah, juga Habib Salim Asy-Syatiri dari Tarim, Hadhramaut.
Fitnah Berdatangan
Tahun 2003 adalah tahun ujian bagi Habib Hasan. Selain ayahnya, Habib Ja’far, wafat pada bulan haji, fitnah pun berdatangan kepadanya. Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikatakan sebagai majelis bid’ah, majelis syirik. Malah suatu hari, ketika ia bangun tidur, ranjangnya penuh dengan kalajengking.
Maka Habib Hasan pun segera bangkit dari tidur dan berdoa.
Dalam sekejap kalajengking-kalajengking itu mati semua.
Pada kali yang lain ia menemukan seekor ular di kamarnya.
Bahkan pernah selama satu bulan kakinya tidak bisa digerakkan. Selama itu kegiatan ta’lim diserahkan kepada adiknya, Habib Abdullah.
Kakinya sembuh berkat bacaan rutin Subhanallah wa bihamdihi, Subhanallahil ‘adhim, Astaghfirullah.
Sempat terlintas dalam benaknya akan meninggalkan kegiatan majelis ta’limnya itu. Tapi dibatalkan, karena tidak disetujui Al-Alamah Habib Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri.
Setelah mendapat dukungan Habib Abdurrahman, hatinya semakin mantap. Dan untuk menghadapi fitnah-fitnah itu, Habib Hasan melakukan ziarah ke makam para shalihin di berbagai tempat, seperti di Luar Batang, Kwitang, Bogor, Tegal, Pekalongan, Solo, Gresik, Surabaya, Bangil, Malang, dan lain-lain.
Keinginan Ibu
Suatu hari, Habib Hasan mengemukakan kepada ibunya bahwa ia ingin menikah.
Sang ibu merasa sangat bersyukur. Maklum, Habib Hasan adalah anak sulung. Lantas ibunya menyodorkan 40 foto syarifah.
Habib Hasan kemudian mengambil satu dan menyimpan di kantung bajunya tanpa melihat wajah di gambar itu.
Esok harinya ia pergi ke Tegal, dan memakai baju yang sama. Jadi ia yakin bahwa foto syarifah pemberian ibunya itu masih ada di kantung baju.
Namun, ketika sampai di Tegal, foto itu raib.
Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Solo.
Ketika sampai di rumah Al-‘Alamah Habib Anis Al-Habsyi di Solo, di kantungnya terasa ada sesuatu yang mengganjal. Setelah diraba, ternyata ganjalan itu adalah sebuah foto, yaitu foto syarifah pemberian ibunya.
Saat bertemu Habib Anis, Habib Hasan minta pendapatnya tentang calon istrinya yang wajahnya ada di dalam foto itu. Padahal sampai detik itu ia belum melihat wajah di foto itu.
Dan ternyata Habib Anis menyatakan persetujuannya terhadap calon tersebut.
Sekembalinya ke Bogor, kepada ibunya Habib Hasan menceritakan pertemuannya dengan Habib Anis.
Maka keluarganya pun segera mempersiapkan acara untuk melamar gadis itu. Pada saat itulah Habib Hasan baru berani melihat wajah di foto yang telah dibawanya ke mana-mana itu, yang ternyata adalah Syarifah Muznah binti Ahmad Al-Haddad, keponakan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Haddad, Condet.
Lamaran tidak bertepuk sebelah tangan.
Sebulan kemudian, pernikahan dua sejoli itu dilangsungkan di rumah mempelai perempuan.
Kini pasangan itu telah dikaruniai tiga orang anak: Rogayah, 8 tahun, Attos Abdullah, 7 tahun, dan Ali, 6 tahun.
Setelah Habib Hasan berkeluarga, semuanya jadi tambah lancar. Jama’ahnya bertambah hingga enam ribu orang, tersebar di Jakarta Selatan dan Timur. Bahkan tahun 2005 jumlah jama’ah mencapai 15 ribu orang.
Tahun berikutnya, Habib Hasan pindah ke Kampung Manggis di depan kantor Darul Aitam di Jalan Kahfi I, Jakarta Selatan. Di situ dia membangun rumah dan mushalla di atas tanah hibah dari H. Abdul Gofar, Hj. Nur Utami, dan H. Masturoh.
Pada tahun itu juga Habib Hasan mengukuhkan Yayasan Nurul Musthofa, yang diketuai oleh adiknya, Habib Abdullah bin Ja’far Assegaf, dan dia sendiri, dengan izin resmi dari Departemen Agama.
Tahun 2006, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa berkembang semakin pesat.
Pada tahun ini pula, Habib Hasan mulai mendiami rumahnya sendiri yang juga menjadi kantor sekretariat Yayasan Nurul Musthofa.
Ulam Tiba
Pada tahun 2007, Yayasan Nurul Musthofa mulai mendirikan gedung khusus untuk kegiatan ta’lim di atas tanah hibah, yang terletak persis di belakang kediaman Habib Hasan. Padahal saat itu kontur tanah tersebut miring sehingga sulit untuk segera bisa merealisasikan pembangunan tersebut.
Tanah itu perlu diurug. Namun untuk mengurug dibutuhkan tanah yang tidak sedikit. Apalagi kiri-kanan lahan tanah tersebut telah dibatasi tembok-tembok tetangga.
Ketika menyadari hal itu, Rahman, tangan kanan Habib Hasan, menyatakan pesimistis.
Namun Habib Hasan dengan tenang menjawab, “Sabar saja, nanti juga akan ada tanah untuk mengurug.”
Benar juga, beberapa hari kemudian, Rahman menerima kedatangan tetangga sebelah yang merencanakan ingin membuat kolam renang, sehingga akan membuang tanah yang cukup banyak.
“Pucuk dicita, ulam tiba,” kata Rahman.
Maka, tanpa kesulitan, tanah dari tetangga sebelah dipindahkan ke rumah Habib Hasan.
Agenda Dakwah
Kegiatan Majelis Ta’lim Nurul Musthofa berjalan sejak Senin sampai Sabtu, ba’da maghrib, yang dihadiri sekitar 300 sampai 400 jama’ah.
Malam Senin, pembacaan kitab Syarah Ainiyah, karya Habib Ahmad bin Hasan Alattas. Malam Selasa, pembacaan Safinatun Najah, diikuti dengan ziarah ke Makam Habib Kuncung di Kalibata. Malam Rabu, pembacaan shalawat dan kitab Riyadhus Shalihin. Malam Kamis pembacaan nama-nama Nabi SAW dengan qashidahan. Malam Jum’at, pembacaan Dalailul Khairat dan kitab Arbain Imam Nawawi, diteruskan ziarah ke makam Habib Salim bin Toha Al-Haddad. Dan malam Sabtu, pembacaan kitab Aqidatul Awam.
Pada malam Ahad, Habib Hasan mengerahkan jama’ahanya untuk mengikuti majelis ta’lim yang berpindah-pindah sesuai undangan.
Para jama’ah itu dikoordinir di suatu tempat yang strategis dan kemudian membentuk konvoi menuju ke tempat acara bersama dia dan krunya dalam iring-iringan kendaraan roda empat dan roda dua. Di sepanjang jalan mereka mengumandangkan kalimah-kalimah tauhid dan sejenisnya.
Ketika sampai di tujuan, di sana ribuan jama’ah yang lain telah menanti. Dan angkasa pun dimeriahkan dengan dentuman dan kilatan kembang api.
Setelah itu, acara ta’lim dimulai dan berlangsung sekitar dua sampai tiga jam.
Sekitar jam 00.00 acara usai dan para jama’ah membubarkan diri dengan tertib.
Di rumahnya, Habib Hasan masih menggelar pengajian hingga subuh tiba….
Wallahu a'lam......
KISAH ANAK KECIL YANG MENUMBANGKAN 'ULAMA' SOMBONG DAN TERSESAT
KISAH ANAK KECIL YANG MENUMBANGKAN 'ULAMA' SOMBONG DAN TERSESAT
Alkisah di masa Imam Abu Hanifah ada anak masih kecil sekitar umur 7 tahun, dan seorang ulama yang memiliki Ilmu luas dan tiada bandingannya namanya Dahriyah.
Seluruh Ulama pada waktu itu tidak ada yang mampu menandinginya di saat berdebat, terutama dalam bab Tauhid.
Maka muncullah sifat kesombongannya, bahkan akhirnya ia berani mengatakan bahwa ALLAH itu tidak ada.
Sayangnya belum ada Ulama yang mampu mengalahkan dia dalam berdebat, sampai tiba pada suatu pagi ketika para Ulama dikumpulkan di suatu Majlis milik Syaikh Himad, guru Imam Abu Hanifah, yang pada hari itu Abu Hanifah kecil hadir juga di majlis itu.
Maka Dahriyah naik ke mimbar lalu berkata dengan sombong dan congkaknya:
Siapakah di antara kalian hai para Ulama yang akan sanggup menjawab pertanyaanku?
Sejenak suasana hening, para Ulama semua diam, namun tiba-tiba berdirilah
Abu Hanifah dan berkata:
*Abu Hanifah:*
Omongan apa ini?
Maka barang siapa tahu pasti ia akan menjawab pertanyaanmu.
*Dahriyah:*
Siapa kamu hai anak ingusan, berani kamu bicara denganku. Tidakkah kamu tahu, bahwa banyak yang berumur tua, bersorban besar, para pejabat, dan para pemilik jubah kebesaran, mereka semua kalah dan diam dari pertanyaanku, kamu masih ingusan dan kecil berani menantangku...!
*Abu Hanifah:*
ALLAH tidak menyimpan kemuliaan dan keagungan kepada pemilik sorban yang besar dan para pejabat dan para pembesar, tetapi kemuliaan hanya diberikan kepada Al-Ulama.
*Dahriyah:*
Apakah kamu akan menjawab pertanyanku?
*Abu Hanifah:*
Ya aku akan menjawab pertanyaanmu dengan taufiq ALLAH.
*Dahriyyah:*
Apakah ALLAH itu ada?
*Abu Hanifah:*
Ya ada
*Dahriyah :*
Dimana Dia ?
*Abu Hanifah:*
DIA, tiada tempat bagi DIA.
*Dahriyyah:*
Bagaimana bisa disebut ada bila Dia tak punya tempat?
*Abu Hanifah:*
Dalilnya ada di badan kamu, yaitu Ruh.
Saya tanya, kalau kamu yakin Ruh itu ada, maka di mana tempatnya? Di kepalamu, di perutmu atau di kakimu?
Dahriyah diam seribu bahasa dengan muka malu.
Lalu Abu Hanifah minta air susu pada Gurunya, Syaikh Himad lalu bertanya kepada Dahriyah:
Apakah kamu yakin di dalam susu ini ada manis?
*Dahriyah:*
Ya saya yakin di susu itu ada manis.
*Abu Hanifah:*
Kalau kamu yakin ada manisnya, saya tanya apakah manisnya ada di bawah, atau di tengah, atau di atas?
Lagi-lagi Dahriyah diam dengan rasa malu.
Lalu Abu Hanifah menjelaskan:
Seperti Ruh atau manis yang tidak memiliki tempat, maka seperti itu pula tidak akan ditemukan bagi ALLAH tempat di Alam ini baik di Arsy atau Dunia ini.
Lalu Dahriyah bertanya lagi:
Sebelum ALLAH itu apa dan setelah ALLAH itu apa?
*Abu Hanifah:*
Tidak ada apa-apa sebelum ALLAH dan sesudahnya tidak ada apa-apa.
*Dahriyah:*
Bagaimana bisa dijelaskan bila sebelum dan sesudahnya tak ada apa-apa?
*Abu Hanifah:*
Dalilnya ada di jari tangan kamu,
Apakah sebelum jempol dan apakah setelah kelingking?
Dan apakah kamu bisa menerangkan jempol 👍 duluan atau kelingking 🤙 duluan ?
Demikianlah sifat ALLAH. Ada sebelum semuanya ada dan tetap ada bila semua tiada. Itulah makna kalimat Ada bagi Hak ALLAH.
Lagi-lagi Dahriyah dipermalukan, lalu ia berkata:
Satu lagi pertanyaanku, apa perbuatan ALLAH sekarang?
*Abu Hanifah :*
Kamu telah membalikkan fakta, seharusnya yang bertanya itu di bawah mimbar dan yang ditanya di atas mimbar.
Akhirnya Dahriyah turun dari mimbar dan Abu Hanifah naik ke atas mimbar.
Dahriyah:
Apa perbuatan ALLAH sekarang?
Abu Hanifah:
*Perbuatan ALLAH sekarang adalah menjatuhkan orang yang tersesat seperti kamu ke bawah jurang Neraka dan menaikkan yang benar seperti aku ke atas mimbar keagungan.*
Maha Suci ALLAH yang telah menyelamatkan keyakinan Islam melalui seorang anak kecil.
Mudah-mudahan kita semua dijauhkan dari sifat-sifat:
* Sok,
* Tinggi Hati,
* Angkuh,
* Meremehkan/Merendahkan Orang,
* Buruk Sangka,
* Takabbur,
* Dzalim
* Sombong.
* Aamiin.
Semoga yg berkomentar Aamiin dijauhkan dari segala penyakit, diberi sehat wal'afiat, rezekinya melimpah ruah, dan keluarganya bahagia Dan bisa masuk Surga melalui pintu mana saja. Aamiin ya Rabbal'alamiin..
(Dikutip dari Kitab _Fathul Majid_, Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi Asy-Syafi’i; والله اعلم
Semoga bermanfaat.Aamiin ❤
KISAH SEBUAH MAKAM DI TURKI PINDAH KE MADINAH
KISAH SEBUAH MAKAM DI TURKI PINDAH KE MADINAH
Suatu ketika As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani bercerita :
Dulu ada seorang tua di Turki yang hobinya membaca Al Qur'an, dari masa muda memang dia senang membaca Qur'an sampai dimasa tuanya.
Namun ketika dia memasuki usia tua, dia mengalami kesulitan membaca dikarenakan kemampuan matanya sudah tidak seperti dulu lagi.
Lalu ia pun memiliki ide untuk menulis Al Qur'an dengan tangannya sendiri dan ingin menulis dengan huruf agak besar sesuai dengan yang dia inginkan, supaya ia bisa membaca Al Qur'an dengan jelas tanpa kesulitan sedikitpun.
Akhirnya selesailah Al Qur'an hasil tulisan tangannya sendiri. Dan setiap hari ia membaca & membawa Al Qur'an itu kemana mana.
Suatu saat ketika dia hendak wafat, ia berpesan kepada anaknya, nanti bila ia wafat maka hendaklah Al Qur'an yang dibuat dengan tulisan tangannya sendiri itu di ikut sertakan kedalam jasadnya ke dalam kuburnya.
Selang berapa lama ia pun wafat dan anaknya pun segera menunaikan wasiat ayahnya untuk memasukkan Al Qur'an itu kedalam kubur ayahnya bersama jasadnya pada saat pemakamannya.
Setelah berlalu satu tahun dari wafat ayahnya. Anaknya pun menunaikan ibadah haji. Dan saat anaknya berada di 🕌Madinah, anaknya berjalan-jalan ketempat perbelanjaan. Dan ia memasuki sebuah toko kitab & kaligrafi di 🕌Madinah. Alangkah terkejut anaknya ketika melihat Al Qur'an yang ditulis ayahnya ada di toko itu.
Ia pun bertanya kepada penjaga toko itu sambil menunjukkan Al Qur'an itu kepada penjaga toko ;
"Dari manakah 📖al Qur'an ini didapat".
Maka penjaga toko itu berkata ;
"Saya mendapatkan al Qur'an itu dari seorang penggali kubur".
Anaknya berkata lagi :
"Bisakah anda mempertemukan kepada saya penggali kubur tersebut".
Lalu penjaga toko itu pun segera mempertemukannya dengan penggali kubur tersebut.
Setelah bertemu dengan penggali kubur itu, anaknya tadi segera bertanya kepada penggali kubur.
"Bagaimana anda bisa mendapatkan al Qur'an ini" (sambil menunjukkan 📖Al Qur'an tulisan tangan ayahnya kepada penggali kubur tsb).
Lalu penggali kubur itu berkata :
"Saat saya menggali kubur untuk seseorang di baqi' (pemakaman di Madinah), saya melihat sebuah jasad masih utuh dan di samping jasad itu ada sebuah Al Qur'an tulisan tangan persis dengan yang ada ditangan anda sekarang ini. Saya pun mengambilnya dan menyimpannya, dan suatu ketika saya butuh uang, karena saya butuh uang akhirnya saya menjualnya ke sebuah toko".
Anaknya pun berkata lagi kepada penggali kubur :
"Bisakah anda menunjukkan kepada saya, dimana letak posisi makam dimana anda menemukan Al Qur'an ini. Dan kalau anda mau bisakah anda menggali makam tersebut untuk saya sekali saja, karena saya ingin melihat orang yang ada didalam makam tersebut".
Penggali kubur itu berkata "Insyaa Alloh saya akan lakukan, bila itu yang anda minta"
Setelah penggalian dilakukan oleh si penggali kubur. Akhirnya tampaklah, ternyata memang jasad ayahnya yang berada di dalam kubur tersebut, sementara jasadnya dalam keadaan masih utuh.
Anak itupun menangis melihat jasad ayahnya tersebut dan kagum dengan keajaiban tersebut. Padahal dia melihat sendiri saat pemakaman ayahnya itu di Turki setahun yang lalu. Dan bagaimana bisa makam ayahnya sekarang berada di Madinah.
Dan mengenai hal ini As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani berkata :
المَرْءُ مَعَ مَنْ اَحَبَّ
SESEORANG ITU DIKUMPULKAN BERSAMA ORANG YANG DIA CINTAI".
Baik di dunia, di alam kubur ataupun di akhirat nanti.
Karena orang yang di dalam kubur tersebut mencintai Rosululloh ﷺ, maka Alloh mengumpulkan dia dengan Rosululloh ﷺ baik secara dzohir ataupun secara batin.
Dan menurut Imam Al Ghozali itu bukan suatu perkara yang sulit atau mustahil. Dan kejadian seperti itu memang sudah sering terjadi.
Hal itupun banyak dibahas dalam kitab ;
📕Karomatul Auliya' ✍Karya 👳♂️As-Syeikh Yusuf An Nabhani
📒Thobaqotul Auliya' ✍Karya 👳♂️As-Syeikh Sirojuddin ibnu Al Mulaqqon
📗Hilyatul Auliya' ✍Karya 👳♂️As-Syeikh Abu Nu'aim Al Ashbahani
Walloohu a'lam....
#SholluAlanNabiMuhammadﷺ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى رُوْحِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فىِ اْلأَرْوَاحِ وَعَلَى جَسَدِهِ فِى اْلأَجْسَادِ وَعَلَى قَبْرِهِ فِى اْلقُبُوْر
ِاَللَّهُمَّ اَبْلِغْ رُوْحَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ مِنِّيْ تَحِيَّةً وَسَلاَمًا
Alloohumarzuqnaa qolbun saliiman....
۞اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ۞
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻝِ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪ ﻭَﺳَﻠِّﻢْ ﺗَﺴْﻠِﻴﻤﺎ
Semoga bermanfaat ♡
KEJUJURAN YANG BERHARGA MAHAL
KEJUJURAN YANG BERHARGA MAHAL
Suatu hari, Imam Ahmad bin hanbal, pendiri mazhab hambaliyah dikunjungi seorang perempuan yang ingin mengadu.
"Ya syaikh, saya adalah seorang ibu rumah tangga yang sudah lama ditinggal mati suami. Saya ini sangat miskin, sehingga untuk menghidupi anak-anak saja, saya merajut benang dimalam hari, sementara siang hari saya gunakan untuk mengurus anak-anak dan menyambih sebagai buruh kasar disela waktu yang ada. Karena saya tak mampu membeli lampu, maka pekerjaan merajut itu saya lakukan apabila sedang terang bulan."
Imam ahmad menyimak dengan serius penuturan si ibu tadi. Perasaannya miris mendengar ceritanya yang memprihatinkan. Imam Ahmad adalah seorang ulama besar yang kaya raya dan dermawan.
Sebenarnya, hatinya telah tergerak untuk memberi sedekah kepada perempuan itu, namun ia urungkan dahulu karena menunggu perempuan itu melanjutkan pengaduannya.
"Pada suatu hari, ada rombongan pejabat negara berkemah di depan rumah saya. Mereka menyalakan lampu yang jumlahnya amat banyak sehingga sinarnya terang benderang. Tanpa sepengetahuan mereka, saya segera merajut benang dengan memanfaatkan cahaya lampu-lampu itu," tegas perempuan.
"Tetapi setelah selesai saya sulam, saya bimbang, apakah hasilnya halal atau haram kalau saya jual? Bolehkah saya makan dari hasil penjualan itu? Sebab saya melakukan pekerjaan itu dengan diterangi lampu yang minyaknya dibeli dengan uang negara,dan tentu saja itu tidak lain adalah uang rakyat." Perempuan itu kembali menjelaskan.
Imam Ahmad terpesona dengan kemulyaan jiwa perempuan itu. Ia begitu jujur, ditengah masyarakat yang begitu bobrok akhlaknya dan hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa peduli Halal haram lagi. Padahal jelas, wanita ini begitu miskin dan papah.
Maka dengan penuh rasa ingin tahu, Imam ahmad bertanya, "Ibu, sebenarnya engkau ini siapa?"
"Saya ini adik perempuan Basyar Al-Hafi," Perempuan itu mengaku dengan suara serak karena penderitaannya yang berkepanjangan.
Imam Ahmad makin terkejut. Basyar Al-Hafi adalah gubernur yang terkenal sangat adil dan dihormati rakyatnya semasa hidupnya. Rupanya, jabatannya yang tinggi tidak disalahgunakannya untuk kepentingan keluarga dan kerabatnya. Sampai-sampai adik kandungnya pun hidup dalam keadaan miskin.
Dengan menghela nafas berat, Imam Ahmad berkata "Pada masa kini, ketika orang-orang sibuk memupuk kekayaan dengan berbagai cara, bahkan dengan cara menggerogoti uang negara dan menipu serta membebani rakyat yang sudah miskin, ternyata masih ada perempuan terhormat seperti engkau ibu".
"Sungguh, sehelai rambutmu yang terurai dari sela-sela jilbabmu jauh lebih mulia dibanding dengan berlapis-lapis surban yang kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dikenakan para ulama."
"Subhanallah, sungguh mulianya engkau, hasil rajutan itu engkau haramkan?, padahal bagi kami itu tidak apa-apa, sebab yang engkau lakukan itu tidak merugikan keuangan negara."
Kemudian Imam Ahmad melanjutkan, "Ibu, izinkan aku memberi penghormatan untukmu. Silahkan engkau meminta apa saja dariku, bahkan sebagian besar hartaku, niscaya akan kuberikan kepada perempuan semulia engkau".
===================================
Diriwayatkan dari ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ, dari RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM. BELIAU BERSABDA:
"TIDAK AKAN MASUK KEDALAM SURGA SEBUAH JASAD YANG DIBERI MAKAN DENGAN YANG HARAM."
shahih lighairihi, HR. Abu Ya'la, Al-Bazzar, Ath-Thabarani dalam kitab Al-ausath dan Al-Baihaqi, dan sebagian sanadnya hasan .
Kisah ini ada dalam kitab shahih at- targhib 2/150, no .1730
Sejarah singkat Tuan Guru, Pejuang Asal Maluku di Tanah Afrika
Sejarah singkat Tuan Guru, Pejuang Asal Maluku di Tanah Afrika
Sejarah yg seharusnya kita ketahui dari Afrika Selatan. Di tempat ini terjadi sejarah menarik penyebaran agama Islam, dan tokoh yang cukup dikenal disana merupakan orang Indonesia. Dia adalah Qadhi Imam Abdullah bin Qadhi Abdussalam atau masyarakat Afrika Selatan lebih mengenalnya sebagai Tuan Guru.
Masa Kecil
Tuan Guru merupakan anak dari seorang Qadhi Kesultanan Tidore, Maluku Utara. Beliau lahir pada tahun 1100 Hijriah atau 1712 Masehi dari pasangan Qadhi Abdussalam dan Boki. Selama masa kecilnya, Tuan Guru dikenal sebagai seorang yang cerdas yang hidup dalam kehidupan keluarga yang taat pada Agama. Ia berhasil menghafalkan Al Quran ketika umurnya masih belia, 12 tahun. Dan memahami banyak ilmu-ilmu lain seperti fikih dan tasawuf. Sehingga tidak heran, pada masa dewasanya, selain dikenal sebagai Qadhi dan imam, dia juga dikenal sebagai sufi, bahkan mujahid.
Perjuangan Tuan Guru di Tidore
Perjuangan Tuan Guru melawan penjajah Belanda sangat dirasa. Kemampuannya dalam orasi dan menggalang massa dari mimbar ke mimbar, membuat Belanda kewalahan. Hal demikian dilakukannya karena ketidak relaannya menjadi budak di negeri sendiri dibawah pemerintahan kolonial yang dzalim.
Kehebatannya sebagai pemimpin juga dirasa ketika dia menjadi panglima dalam perang menghadapi Belanda. Belanda kewalahan, dan banyak dari mereka yang berguguran. Semangat perjuangannya ini juga meluas ke wilayah-wilayah lain. Dari sinilah dia menjadi musuh utama Belanda.
Kebencian Belanda yang sangat mendalam kepadanya membuat dia dijuluki sebagai Baditen Rollen atau seorang bandit. Banyak cara dan upaya yang Belanda lakukan untuk menumpasnya. Upaya-upaya itu kebanyakan tidak menemukan hasil. Hingga pada suatu saat pada tahun 1763 di Tidore, dia ditangkap bersama ketiga saudaranya, Abdul Rauf, Badaruddin, dan Nurul Imam.
Belanda tentunya bisa saja menjatuhinya hukuman yang sangat berat. Bisa saja dia dieksekusi mati ataupun disiksa. Namun banyak pertimbangan yang mereka pikirkan karena posisinya yang sangat kuat di masyarakat Tidore. Sehingga apabila mereka membunuhnya, tentu saja akan ada perlawanan dan bekas gejolak yang sangat besar pada para pengikutnya dan masyarakat Tidore umumnya. Karena itulah dia dibawa ke tempat yang sangat jauh dan tidak dikenalnya sebelumnya.
Perjuangan Tuan Guru di Afrika Selatan
Belanda membawanya ke Tanjung Harapan atau Tanjung Harapan Baik (Cape of Good Hope), di Afrika Selatan dan dipenjara di Pulau Robben (Robben Island) selama dua belas tahun. Tempat yang sama dimana Nelson Mandela, Presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan dan tokoh revolusioner antiapartheid, dipenjara selama dua puluh tujuh tahun. Di penjara inilah dia menghabiskan waktunya dan berhasil menulis Alquran dengan tulisan tangan dari hafalannya. Tulisannya terbukti akurat dan tidak ditemukan kesalahan satu pun dengan Alquran yang telah dicetak. Subhanallah.
Setelah dua belas tahun dipenjara di Pulau Robben, akhirnya Tuan Guru dibebaskan. Tuan Guru hidup bersama orang-orang Afrika Selatan di Cape Town yang kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang Islam, hanya saja banyak dari mereka adalah budak dan tidak bisa bebas melaksanakan ajaran agama Islam. Mereka memeluk Islam secara tertutup menurut kepercayaan mereka dan hanya mempraktekan ajaran agama di rumah, tetapi tidak bisa mempraktekannya di depan Pemerintah Kolonial.
Hal ini karena peraturan Pemerintah Kolonial Pada saat itu yang sangat kejam. Pemerintah Kolonial Belanda melarang pelaksanaan ritual keagamaan apapun kecuali kristen. Dengan hukumannya yang sangat berat jika dilanggar.
Karena itulah tidak terdapat masjid di sana dan tidak dilaksanakan pula shalat Jumat. Hal ini membuat Tuan Guru sangat marah. Dalam hatinya dia merasa hal ini salah dan harus diluruskan. Bagaimana bisa salah jumat tidak dilaksanakan, padahal banyak orang Islam di sana. Sebagai seorang imam yang hebat, Tuan Guru mengerahkan massa untuk melaksanakan salat jumat untuk pertama kalinya di lapangan. Banyak di antara mereka yang ikut, ada pula yang masih merasa takut dan hanya melihat dari kejauhan. Takbir dikumandangkan dan salat dilaksanakan. Hal ini membuat Belanda tidak nyaman. Polisi dikerahkan untuk menangkapnya dan mengingatkannya bahwa apa yang dilakukannya dilarang menurut hukum. Tuan Guru dengan entengnya menjawab, “tapi hukum Tuhanku lebih besar daripada hukummu.” Tuan Guru ditangkap dan dipenjara, untuk kedua kalinya.
Hasil yang Manis
Setelah Pemerintahan Belanda berakhir, Inggris datang dan memerintah Afrika Selatan. Berbeda dengan Belanda yang melarang pelaksanaan ritual keagamaan secara umum, Inggris memperbolehkan pelaksanaan ritual keagamaan apapun. Selain itu, Pemerintah Kolonial Inggris juga memandang Tuan Guru sebagai pahlawan. Mereka menawarinya hadiah sebagai keberaniannya melaksanakan salat jumat, dengan memberinya tanah untuk didirikan rumah. Hal ini ditolaknya, baginya, hal terpenting untuk saat itu adalah masjid, dia lebih rela tidak memiliki tempat tinggal, daripada tidak memiliki rumah Allah. Ajaibnya, pemerintah kolonial mengiyakannya.
Masjid pun dibangun dan ibadah dilaksanakan disana. Masjid inipun diberi nama “The Auwal Mosque” atau masjid Auwal atau bisa diartikan lagi sebagai masjid pertama. Dari sisnilah peribadatan umat Islam dilaksanakan dengan bebas dan tanpa ketakutan sedikitpun.
Peninggalan
Selain membangun masjid, Tuan Guru juga mendirikan madrasah sebagai tempat menempa ilmu dan pendidikan. Tuan Guru tidak memilih-milih murid di madrasah ini, siapa saja bisa belajar di tempat ini, bahkan non muslim. Sehingga banyak orang-orang non muslim yang belajar di madrasah ini. Hal ini karena budak dan orang-orang kulit hitam pada waktu itu tidak diperbolehkan belajar di sekolah. Karena inilah banyak diantara mereka yang akhirnya memeluk Islam.
Apa yang diperjuangkan oleh Tuan Guru merupakan bukti bahwa perjuangan atas nama Allah tidak akan pernah bisa dikalahkan. Ketika Tuan Guru tidak bisa memperjuangkan kebebasannya di Tidore, Allah memindahkan arah perjuangannya di tempat lain. Begitulah bagaimana perjuangan seorang mujahid sejati di mata Allah. Subhanallah. Alfatihah
Sumber :
*PPTebuireng Jombang.
Biografi Lengkap Syaikh Abdul Ghani Al-Bimawi Al-jawi Ulama Besar Masjidil Haram Asal Bima
Biografi Lengkap Syaikh Abdul Ghani Al-Bimawi Al-jawi Ulama Besar Masjidil Haram Asal Bima
Syaikh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail bin abdul Karim Al-Bimawi Al-Jawi atau yang kerap disebut Al-Bimawi saja, adalah seorang Ulama besar yang sangat masyhur di dunia Islam pada paruh abad ke-19. Keluasan ilmunya menyebabkan beliau diangkat menjadi seorang ulama pengajar di Madrasah Haramayn, Makkah. Beliau menjadi tempat berguru banyak ulama yang datang ke Madrasah Haramayn. Jika kita melacak garis genealogi atau hubungan kekerabatan intelektual Abdul Ghani dengan ulama-ulama di Indonesia kira-kira pertengahan abad ke-19, Abdul Ghani tergolong salah satu moyang ulama Nusantara.
Syaikh Abdul Ghani lahir di paruh terakhir abad ke-18 kira-kira tahun 1780 M di Bima, Nusa Tenggara Barat. Tidak ada catatan pasti mengenai kapan hari lahir Syaikh Abdul Ghani. Yang jelas beliau berasal dari lingkungan keluarga ulama yang memiliki kegandrungan tinggi dalam mengkaji Al-Qur’an. Orang tua Abdul Ghani adalah seorang ulama hafidz Al-Qur’an.
Kakek buyut Syaikh Abdul Ghani bernama Abdul karim, seorang da’i asal Makkah kelahiran Baghdad. Konon Abdul Karim sampai ke Indonesia pertama kali menuju Banten, untuk mencari saudaranya. Dari Banten, Abdul Karim mendapat informasi bahwa saudaranya itu ada di Sumbawa. Pergilah ia ke sana dan sampai di Dompu. Seraya berdagang tembakau, Abdul Karim menyiarkan Islam. Hal itu menarik perhatian Sultan Dompu, lalu beliau diambil menjadi menantu. Dari pernikahan dengan puteri Sultan Dompu itu, Abdul Karim mendapat anak laki-laki bernama Ismail. Ismail pun mengikuti jejak ayahnya menjadi mubaligh. Ismail kemudian menikah dan mempunyai anak bernama Subuh.
Syaikh Subuh bin Ismail bin abdul Karim sejak muda sudah hafal Al-Qur’an. Ia kemudian mengembara ke timur kea arah teluk Bima, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima. Kehebatan ilmunya membuat Sultan Alauddin Muhammad Syah (1731-1743) yang menjadi penguasa Kesultanan Bima saat itu mengundangnya ke istana. Beliau didaulat menjadi imam kesultanan. Menulis Al-Qur’an Mushaf Bima adalah prestasi luar biasa ulama ini. Mushaf yang beliau tulis diberi julukan La Lino, yang berarti melimpah ruah atau menyeluruh (Arab: Asy Syamil).
Karyanya itu menjadi satu-satunya Al-Qur’an Mushaf Bima. Kitab tersebut dulunya tersimpan di kediaman keluarga sultan di Bima dan sekarang tersimpan di Museum Al-Qur’an Jakarta, dan pada tahun 2012 mendapat penghargaan sebagai mushaf Al-Qur’an terbaik dan terindah yang diselenggarakan di Yogyakarta dan menarik sekian banyak pengunjung yang hadir menyaksikannya.La Lino juga termasuk salah satu mushaf tertua di Indonesia.
Dalam pengembaraannya ke teluk Bima, Syaikh Subuh sempat menikahi seorang gadis dari Kampo Sarita, Donggo (sekarang masuk wilayah Desa Sarita, Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima). Dari pernikahan itu lahirlah Abdul Ghani.
Abdul Ghani kecil melawat ke Makkah dan belajar dari para ulama di sana seperti Al-‘Allamah As-Sayyid Muhammad Al-Marzuqi dan saudaranya, Sayyid Ahmaq Al-Marzuqi -penulis ‘Aqidatul ‘Awwam-, Muhammad Sa’id Al-Qudsi -mufti madzhab syafi’i-, dan Al-‘Allamah ‘Utsman Ad-Dimyathi. Syaikh Abdul Ghani banyak mengambil faidah dari para ulama ini. Sebagaimana yang dicatat oleh Khairuddin Az-Zirikli dalam kamus tarajimnya, Al-A’lam.
Nama Abdul Ghani sangat masyhur di dunia Islam pada paruh abad ke-19. Keluasan ilmunya menyebabkan beliau menjadi tempat berguru banyak ulama yang datang ke Madrasah Haramayn, Mekah. Termasuk di antaranya banyak ulama dari tanah Jawi (sebutan orang Arab untuk Nusantara waktu itu). Sebagaimana dicatat oleh Khairuddin Az-Zirikli, Syaikh ‘Abdul Ghani Al-Bimawi telah ‘meluluskan’ mayoritas ulama Jawa seperti Syaikh Ahmad Khathib bin ‘Abdul Ghaffar As-Sambasi; Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Bantani, pemilik karya-karya ilmiah seperti Tafsir Muroh Labid / At-Tafsir Al-Munir li Ma’alimit Tanzil, yang juga pendapat anugrah berupa gelar ‘Sayyid Ulamail Hijaz’ dari Negeri Timur. Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Bantani, atau Syaikh An-Nawawi Al-Bantani adalah guru dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, TGH. Zainuddin Abdul Majid pendiri Nahdlatul Wathan di Lombok, Syaikh Tubagus Ahmad Bakri dari Purwakarta, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Kyai Agung Asnawi dari Banten, Abuya Dimyati dari Banten, Syaikh Mubarok bin Nuh Muhammad dari Tasikmalaya, KH. Abdul Karim dari Kediri, KH. Muhammad falak dari Bogor, dll. Syaikh Abdul Ghani senantiasa menyibukkan diri dengan mengajar, ibadah & menulis.
Syaikh Abdul Ghani sempat “pulang kampung” ke Dompu pada tahun 1857 di masa pemerintahan Sultan Salahuddin yang bergelar Mawa’a Adi (Sang Pembawa Keadilan) dan tinggal beberapa waktu. Beliau sempat membangun sebuah masjid yang kemudian diberi nama Masjid Syekh Abdul Ghani sesuai namanya. Masjid yang merupakan Masjid Kesultanan ini berlokasi di Kampo Sigi (sekarang Lingkungan Sigi, Kelurahan Karijawa, Kecamatan Dompu).
Masjid ini beratap susun tiga yang merupakan corak bangunan dari pengaruh Hindu. Dindingnya terbuat dari kayu jati dan lantainya dari batu. Masjid ini terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu hingga dibongkar pada tahun 1962. Dan saat ini di atasnya berdiri kantor Kelurahan Karijawa. Menurut hasil survey Tim Survey Kepurbakalaan Depdikbud yang meneliti puing-puing bangunan itu pada tahun 1974, luas bangunan masjid ini adalah 25×15 m. Lantainya terbuat dari tegel batu dengan panjang 54 cm, lebar 48 cm dan tebal 3,5 cm. Dindingnya terbuat dari batu bata merah dengan lebar 26 cm dan tebal 8 cm.
Menurut Syaikh Mahdali cucu beliau, dalam sebuah wawancara di tahun 1985, Syaikh Abdul Ghani sempat diangkat menjadi Qadhi Kesultanan Dompu oleh Sultan Dompu. Sultan Dompu menghadiahkan kepada beliau 57 petak sawah di So Ja’do.
Di sinilah beliau mendirikan sebuah masjid dan pesantren yang ramai didatangi penuntut ilmu dari Dompu, Bima dan Sumbawa.Namun saat ini masjid dan pesantren itu sudah tidak ada lagi.
Setelah beberapa lama tinggal di Dompu, beliau kemudian kembali ke Makkah. Sayangnya Syaikh Abdul Ghani tidak terlalu banyak meninggalkan catatan dalam sejarahnya. Beliau wafat di Mekah pada tahun 1270-an H atau pada dasawarsa terakhir abad ke-19 M dan dimakamkan di Ma’la.
Di Dompu, keturunan Abdul Karim sangat dihormati. Mereka dipanggilRuma Sehe. Ruma adalah sebuah kata bermakna plural yang dapat berarti pemilik (owner), Tuhan (God), atau tuan (mister). Sedangkan Sehe adalah kata serapan dari kata dalam Bahasa Arab,Syaikh yang bermakna kakek atau orang yang sudah tua. Di dalam khasanah Islam kata Syaikh kemudian menjadi gelar bagi seorang ulama yang sangat tinggi ilmu agamanya. Ruma Sehe dapat berarti Tuan Syekh atau Gusti Syekh. Ruma adalah sebutan bagi para Raja di Dompu dan keturunannya. Setara dengan sebutan Gusti bagi raja di Jawa. Sedangkan Syaikh Abdul Ghani adalah keturunan dari Abdul karim dengan seorang puteri Sultan Dompu
Syaikh Abdul Ghani memiliki seorang anak di Dompu bernama Syaikh Mansyur. Beliaulah yang menggantikan Syaikh Abdul Ghani menjadi Qadhi Kesultanan Dompu dan mewarisi 57 petak sawah di So Ja’do. Di tempat tersebutlah Syaikh Mansyur menetap dan menjadikannya sebagai pusat dakwah. Oleh karena itu beliau lebih dikenal dengan nama Sehe Ja’do. So berarti padang atau areal. Ja’do adalah nama sebuah areal pertanian yang terdiri atas areal bukit dan persawahan yang sangat subur dengan irigasi yang memadai. Saat ini So Ja’do masuk dalam wilayah Kelurahan Karijawa, Kelurahan Bali Satu dan Kelurahan Doro Tangga. Terletak di sebelah timur Sori Soa atau sebelah timur Kelurahan Simpasai dan sebelah utara Kelurahan Karijawa.
Syaikh Muhammad dan Syaikh Mahdali (Sehe Boe) adalah dua orang anak dari Syaikh Mansyur sekaligus cucu dari Syaikh Abdul Ghani Al-Bimawi. Syaikh Mahdali atau di Dompu lebih akrab dipanggil Sehe Boe sempat menjadi Qadhi Kesultanan Dompu di masa-masa akhir Kesultanan Dompu. Setelah Kesultanan Dihapuskan, beliau menghabiskan sisa-sisa umurnya dengan mendekatkan diri pada Allah di tempat tinggalnya Kampo Lapadi (sekarang Desa Lepadi) sampai beliau berpulang ke hadirat Allah SWT. Alfatihah
Sumber:
* RM. Agus Suryanto, wawancara dengan H.M. Yahya (71), tokoh masyarakat Dompu di Potu thn 2009.
* Mastrepiece Islam Nusantara Karya Zainul Milal Bizawie
Langganan:
Postingan (Atom)