Kita adalah bersaudara di dunia dan akhirat dengan keyakinan, Lailahaillallah Muhammadurrasulullah,
19 Desember, 2019
SANG ULAMA POLITISI DAN AKTIFIS KEMERDEKAAN ( BIOGRAFI KH. ABDUL WAHID HASYIM)
🌷 Tokoh Nasional 🌷
(SEGMEN ULAMA KITA: TERBIT SETIAP SENIN)
SANG ULAMA POLITISI DAN AKTIFIS KEMERDEKAAN ( BIOGRAFI KH. ABDUL WAHID HASYIM)
Riwayat Hidup K.H. Abdul Wahid Hasyim
KH. Abdul Wahid Hasyim dilahirkan pada hari Jumat Legi, 15 Rabiul Awal 1333 H bertepatan dengan 1 Juni 1914 M di Desa Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Beliau adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Dari pasangan K.H. M. Hasyim Asy’ari - Nyai Nafiqoh binti Kyai Ilyas Madiun.
Semenjak kecil, KH. Abdul Wahid Hasyim sudah menunjukkan tanda-tanda memiliki sifat yang istimewa. Awalnya, sang ayah memberi nama Muhammad Asy’ari yang diambil dari nasab neneknya. Akan tetapi di kemudian hari ditemukan ketidakcocokan, konon Abdul Wahid kecil tidak kuat memikul nama tersebut.
Akhirnya Namanya diganti dengan Abdul Wahid yang diambil dari nama datuknya.
Meskipun demikian, ibunya sering memanggilnya dengan nama Mudin.
Abdul Wahid Hasyim adalah anak kelima KH. M. Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqoh dan merupakan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara. Nama aslinya adalah Abdul Wahid, tapi ketika menginjak dewasa dia lebih suka menulis namanya dengan A. Wahid dan ditambah nama ayahnya dibelakangnya, sehingga menjadi A. Wahid Hasyim dan kemudian, dia lebih dikenal dengan Wahid Hasyim.
Ada cerita menarik seputar masa bayi Wahid Hasyim. Semasa mengandung, Nyai Nafiqoh bernadzar seandainya bayi yang dikandung itu selamat dan tidak ada kekurangan apapun maka dia akan membawa anaknya untuk sowan kepada Kyai Kholil Bangkalan yang sekaligus guru KH. M. Hasyim Asy’ari. Hal tersebut dilakukannya karena setiap kali mengandung, Nyai Nafiqoh selalu dirundung kekhawatiran dan ketakutan jika bayi yang dikandungnya terlahur dalam keadaan yang kurang sempurna.
Setelah lahirnya Wahid Hasyim, kira-kira saat Wahid Hasyim berusia 3 tahun Nyai Nafiqoh memenuhi nazarnya. Beliau pun membawa Wahid Hasyim menuju Madura. Ketika mereka sampai di rumah Kyai Kholil, hari telah malam dan turun hujan. Namun apa yang terjadi ?
Mereka tidak diperbolehkan masuk kerumah dan juga tidak diijinkan pergi dari situ. Mereka diminta untuk tetap di depan rumah sambil kehujanan. Ketika hujan makin deras, Nyai Nafiqoh meletakkan anaknya di lantai halaman rumah Kyai Kholil agar terlindung dari hujan. Tapi Kyai Kholil melarang hal ini dan memerintahkan sang ibu untuk mengambil kembali anaknya. Kejadian tersebut diyakini sebagai pertanda bahwa sang bayi akan menjadi orang yang luar biasa.
Wahid Hasyim mengakhiri masa lajang nya pada usia sekitar 25 tahun dengan menikahi Sholehah binti KH. Bisyri Syansuri, seorang pendiri dan pemimpin pesantren Denanyar Jombang. Dari perkawinan ini Wahid Hasyim dikaruniai 6 anak, 4 putra dan 2 putri. Masing-masing adalah Abdurrahman Ad Dakhil (Gus Dur), Aisyah, Salahuddin Al-Ayyubi, Umar, Chadijah, dan Hasyim. Sangat disayangkan, Wahid Hasyim tidak sempat mendidik anak-anaknya lebih lama karena ia meninggal dunia dalam usia relatif muda, 39 tahun, tepatnya pada 19 April 1953 saat perjalanan menuju Sumedang untuk menghadiri rapat pengurus Nahdlatul Ulama. Bahkan anak bungsunya lahir setelah Wahid Hasyim meninggal. Namun kecerdasan yang luar biasa dan kepandaiannya berorganisasi paling tidak menjadi warisan yang diturunkan kepada anaknya.
Pendidikan Wahid Hasyim
Sebagai anak seorang kyai masyhur, Wahid Hasyim tumbuh dan berkembang dalam lingkungan pesantren yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan. Pendidikan dasarnya dimulai di lingkungan rumahnya. Sejak usia 5 tahun ia sudah belajar membaca Al-qur’an yang dibimbing langsung oleh ayahnya. Setiap malam dia mendapat pelajaran khusus dari ayahnya
Ia juga menempuh pendidikan madrasah di lingkungan pesantren Tebuireng.
Wahid Hasyim tidak pernah mendapatkan pendidikan dari Pemerintah Hindia Belanda yang waktu itu berkuasa di Indonesia. Dia lebih banyak belajar mandiri secara otodidak. Selain itu dia juga banyak mempelajari kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Wahid Hasyim mendalami syair-syair berbahasa Arab dan juga menguasai isi dan maknanya dengan baik.
Kitab-kitab klasik yang dipakai di pesantren seperti Fath al-Qarib, dan al-Minhaj al-Qowim sudah beliau pelajari di usia tujuh tahun. Buku tentang kesusastraan, seperti Diwan Asy-Syu’ara, juga dilahapnya.
Wahid hasyim kecil adalah anak yang sangat cerdas dan gemar membaca. Dia tidak pernah mondok dalam pengertian yang sebenarnya, sebagaimana kebiasaan anak-anak kyai saat itu dan bahkan sampai dewasa. Dia memang sempat mondok di pondok Siwalan Pandji, Sidoarjo, tahun 1927, tapi hanya dalam hitungan hari. Demikian pula yang terjadi ketika dia mencoba mondok di Lirboyo, Kediri. Tapi berkat kecerdasan dan kegemarannya membaca, dia belajar banyak hal secara otodidak. Jadi, meski tidak pernah mondok, pada usia 16 tahun dia sudah mampu mengajar beberapa kitab.
Belajar secara otodidak juga dia lakukan dalam bidang-bidang lain. Misalnya, baca tulis huruf latin. Demikian pula dalam bahasa Belanda dan Inggris. Dia mempelajari bidang tersebut dengan berlangganan majalah dan buku yang ditulis dalam huruf latin.
Di usia 15 tahun, Wahid Hasyim betul-betul mulai ketagihan membaca. Karena hobinya inilah matanya mengalami gangguan sehingga harus memakai kacamata. Namun hal itu tidak mengurangi kegemarannya membaca, bahkan makin bertambah. Dengan bermodalkan pengetahuan yang dia miliki, Wahid Hasyim muda pun telah berfikir secara sistematis untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan umat, dengan melakukan studi kooperatif dengan berbagai tingkatan kehidupan di luar umat Islam. Hal tersebut membuatnya bisa berfikir modern dan mampu berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan.
Sejak kecil Wahid Hasyim sudah mengenal dan meresapi kehidupan pesantren yang berorientasi ingin memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Di lingkungan pesantren dia menyaksikan kehidupan santri yang sederhana, bergotong royong ttapi penuh aktivitas belajar untuk mencapai cita-cita. Sejak usia kanak-kanak Wahid Hasyim biasa menempatkan diri dengan teman yang sebayanya, bermain bersama dengan tetangga sekitar pesantren. Pada sewaktu ketika keluarganya mempunyai hajat (baik resepsi untuk pesantren/keluarga dengan menyediakan makanan dalam jumlah besar), dia selalu mengajak temantemannya untuk ikut menikmati. Sebaliknya, dia juga selalu menghadiri resepsi yang diselenggarakan oleh tetangga dekatnya atau kerabat lain yang mempunyai hajat, baik dengan teman sebayanya maupun dengan orang tua nya. Walaupun dengan demikian waktu untuk bermain sangat sedikit jika dibandingkan dengan waktu belajar. Seolah-olah kehidupannya diwarnai kedisiplinan belajar di pesantren. Cara wahid hasyim untuk mengatasi mengantuk ketika asyik membaca yaitu dengan cara mandi dan berwudhu. Ini dikarenakan bacaan tersebut mendesak untuk dipahami.
Karir Wahid Hasyim dalam pentas politik Nasional terus melejit. Dalam usia nya yang masih muda, beberapa jabatan penting telah disandang, baik kepengurusan NU maupun Masyumi. Bahkan ketika Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Wahid Hasyim adalah salah satu anggota yang tergolong muda. Sebagai tokoh muda, dia juga diangkat menjadi penasihat Panglima Besar Jendral Soedirman. Dia juga merupakan tokoh termuda dari sembilan tokoh Nasional yang menandatangani Piagam Djakarta, sebuah piagam yang melahirkan proklamasi dan konstitusi negara.
Kumpulan Tulisan KH. Abdul Wahid hasyim
Wahid Hasyim adalah seorang tokoh yang aktif dan produktif dalam menulis. Namun patut disayangkan karena tidak semua tulisannya diabadikan dalam bentuk buku padahal banyak pemikirannya yang menyangkut keagamaan, pendidikan maupun tentang politik namun hanya dipublikasikan di berbagai majalah dan koran.
Buku-buku berhasil dicetak dalam bentuk buku di antaranya
1. K.H.A Wahid hasyim ; Mengapa memilih NU?, 1985
2. Karisma Ulama : Kehidupan Rangkas 26 Tokoh NU, 1998
3. The Founding Father; Pesantren Modern Indonesia, jejak langkah K.H.A Wahid hasyim, 2006
4. Wahid Hasyim; Biografi Singkat (1914-1953), 2009
5. K.H. Abdul Wahid hasyim, Pembaru Pendidikan Islam dan Perjuangan Kemerdekaan, 2011
6. K.H.A Wahid hasyim: Sejarah, pemikiran, dan Baktinya bagi Agama dan Bangsa, 2011
7. Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, Seri Buku TEMPO, 2011
8. Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa
Depan Indonesia, 2011
Karya berupa Artikel :
1. “Nabi Muhammad SAW dan Persaudaraan Manusia”. Pidatonya pada acara pembukaan Perayaan Nabi Muhammad Saw. Di Istana Negara, Jakarta. 2 Januari 1950
2. “Kebangkitan Dunia Islam”. Di Media Mimbar Agama edisi No.3-4, Maret-April 1951
3. “Beargamalah dengan Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan”. Pidato perayaan Idul Fitri, Indonesia masih berbentuk Serikat (RIS).
4. “Fanatisme dan Fanatisme”. Dalam Gempita No.1 tahun ke-1 (15 Maret 1955)
5. “Siapakah yang akan menang dalam Pemilihan Umum yang akan datang?” dalam Gema Muslimin, tahun ke-1 Maret 1953
6. “Kemajuan Bahasa berarti Kemajuan Bangsa.” Dalam Suara Ansor, Rajab 1360 Th. IV No.5.
7. “Tujuan Berfikir.” Kata Pendahuluan Agenda Kementrian Agama 1951-1952.
Sumber:
Pemikiran Pendidikan Islam Menurut K.H. Abdul Wahid Hasyim, Skripsi Oleh : Siti Nur Rohmah (Jurusan Pendidikan Agama Islam), Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Tahun 2018/2019
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar